Sabtu, 31 Januari 2015

PERAN KONSTITUSI DALAM PERUBAHAN NEGARA

0

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas terselesaikannya pembuatan makalah ini dengan semaksimal mungkin.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan salah satu pokok bahasan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, yang mengkaji masalah konstitusi. Penulisan makalah ini lebih mendalami mengenai peran konstitusi dalam perubahan negara, untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan tahun akademik 2012/2013.
Dalam penyelesaiaan makalah ini, saya banyak mengalami kesulitan, yang disebabkan minimnya ilmu pengetahuan yang saya dimiliki. Namun berkat bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat diselesaikan walaupun masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaiaan makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik dan saran yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.


Yogyakarta, 27 Oktober 2012
         Penyusun



                     Dimas Indi Pramudita  

BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial-politik, bobroknya managemen negara yang memunculkan KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum. Itu terjadi karena ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 belum berjalan secara demokratis, yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian bergantung pada penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa akan berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.
Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik dan terpenting dari proses perubahan atau pergantian konstitusi ini. Karena dari sini akan dapat terlihat apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga masyarakat, dan apakah telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan.
Dengan melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah mencerminkan kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi menjadi monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.

  1. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian dan hakekat konstitusi negara?
2.      Apa saja macam konstitusi?
3.      Apakah nilai yang terkandung dalam konstitusi?
4.      Apa saja pengaruh konstitusi dalam perubahan negara Indonesia?
  1. TUJUAN
1.      Mengetahui pengertian dan hakekat konstitusi negara.
2.      Mengetahui macam konstitusi.
3.      Mengetahui nilai yang terkandung dalam konstitusi.
4.      Mengetahui pengaruh konstitusi dalam perubahan negara Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Hakekat Konstitusi Negara
Istilah dalam bahasa inggris constitution, bahasa Belanda constitutie, bahasa Indonesia Undang-undang dasar. Istilah constitution bagi banyak sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara bagaimana pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Pengertian konstitusi itu dalam praktik ketatanegaraan pada umumnya dipahami secara, lebih luas daripada UUD atau sama dengan pengertian Undang-Undang Dasar.
            Kata konstitusi dapat mempunyai arti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar hanya meliputi naskah tertulis saja dan disamping itu masih terdapat konstitusi yang tidak tertulis, yang tidak tercakup dalam Undang-Undang Dasar (Kaelan, 2004:180). Para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 menganut arti konstitusi lebih luas daripada Undang-Undang Dasar karena penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa :

Undang-Undang Dasar ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar negara itu. Undang-Undang Dasar adalah hukum yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar juga berlaku hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.
Namun dalam masa Republik Indonesia Serikat, yaitu antara 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, penyusun kostitusi RIS menerjemahkan secara sempit istilah konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Hal ini terbukti dengan disebutnya istilah konstitusi Republik Indonesia Serikat bagi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (Totopandoyo, 1981: 25-26). Menurut E.C.S Wade dalam bukunya Constitusional Law (Miriam Budiardjo, 2007, 96) Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
            Ditinjau dari segi kekuasaan, Undang-Undang Dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas-asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan itu dibagi antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Undang-Undang Dasar menentukan bagaimana pusat-pusat kekuasaan itu bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain. Undang-Undang Dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara.
            Dalam negara yang menganut asa demokrasi konstitusional Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintahan sedemikian rupa sehingga penyelenggaran kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, hak-hak warga negara diharapkan terlindungi. Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam undang-undang dasar. Jadi, dalam anggapan ini Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi yang harus ditaati, tidak hanya oleh rakyat, tetapi oleh pemerintah serta penguasa sekalipun.
            Setiap undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut: (i) organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antar badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; dalam negara federal pembagian kekuasaan antar pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian; prosedur penyelesaian masalah pelanggaran yurisduksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya, (ii) hak-hak asasi manusia, (iii) prosedur mengubah undang-undang dasar, (iv) ada kalanya larangan untuk mengubah sifat tetentu dari undang-undang dasar untuk menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi, (v) memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara (miriam Budiardjo, 2007: 101).

B.     Macam Konstitusi
Macam – macam konstitusi Menurut CF. Strong konstitusi terdiri dari:
a). Konstitusi tertulis (dokumentary constiutution / writen constitution) adalah aturan – aturan pokok dasar negara , bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa didalam persekutuan hukum negara.
b). Konstitusi tidak tertulis / konvensi(nondokumentary constitution) adalah berupa kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul.
c). Konstitusi Formil yaitu konstitusi tertulis.
d). Konstitusi Materiil yaitu dilihat dari segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara.
Secara teoritis konstitusi dibedakan menjadi:
a)      konstitusi politik adalah berisi tentang norma- norma dalam penyelenggaraan negara, hubungan rakyat dengan pemerintah, hubuyngan antar lembaga negara.
b)      Konstitusi sosial adalah konstitusi yang mengandung cita – cita sosial bangsa, rumusan filosofis negara, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang ingin dikembangkan bangsa itu.
Bedasarkan sifat dari konstitusi yaitu:
a) Flexible /atau luwes apabila konstitusi / undang undang dasar memungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan.
b) Rigid atau kaku apabila konstitusi atau undang undang dasar sulit untuk diubah.

C.    Nilai-nilai dalam Konstitusi
Nilai konstitusi yang dimaksud di sini adalah nilai (values) sebagai hasil penilaian atas pelaksanaan norma-norma dalam suatu konstitusi dalam kenyataan praktik. Sehubungan dengan hal itu, Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of Constitutions” membedakan 3 (tiga) macam nilai atau the values of the constitution, yaitu (i) normative value; (ii) nominal value; dan (iii) semantical value. Jika berbicara mengenai nilai konstitusi, para sarjana hukum kita selalu mengutip pendapat Karl Loewenstein mengenai tiga nilai normatif, nominal, dan semantik ini. Menurut pandangan Karl Loewenstein, dalam setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai praktik. Artinya, sebagai hukum tertinggi di dalam konstitusi itu selalu terkandung nilai-nilai ideal sebagai das sollen yang tidak selalu identik dengan dasein atau keadaan nyatanya di lapangan. Jika antara norma yang terdapat dalam konsititusi yang bersifat mengikat itu dipahami, diakui,diterima,dan dipatuhi oleh subjek hukum yang terikat padanya, maka konstitusi itu dinamakan sebagai konstitusi yang mempunyai nilai normatif. Kalaupun tidak seluruh isi konstitusi itu demikian, akan tetapi setidak-tidaknya norma-norma tertentu yang terdapat di dalam konstitusi itu apabila memang sungguh-sungguh ditaati dan berjalan sebagaimana mestinya dalam kenyataan, maka norma-norma konstitusi dimaksud dapat dikatakan berlaku sebagai konstitusi dalam arti normatif. Akan tetapi, apabila suatu undang-undang dasar, sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyataannya tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, maka konstitusi tersebut dapat dikatakan sebagai konstitusi yang bernilai nominal. Manakala dalam kenyataannya keseluruhan bagian atau isi undang-undang dasar itu memang tidak dipakai dalam praktik, maka keseluruhan undang-undang dasar itu dapat disebut bernilai nominal. Misalnya, norma dasar yang terdapat dalam konstitusi yang tertulis (schreven constitutie) menentukan A, akan tetapi konstitusi yang dipraktikkan justru sebaliknya yaitu B, sehingga apa yang tertulis secara expressis verbis dalam konstitusi sama sekali hanya bernilai nominal saja.
Dapat pula terjadi bahwa yang dipraktikkan itu hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang dasar, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normative hanya sebagian, sedangkan sebagian lainnya hanya bernilai nominal sebagai norma-norma hukum di atas kertas “mati”. Sedangkan konstitusi yang bernilai semantik adalah konstitusi yang norma-norma yang terkandung di dalamnya hanya dihargai di atas kertas yang indah dan dijadikan jargon, semboyan, ataupun “gincu-gincu ketatanegaraan” yang berfungsi sebagai pemanis dan sekaligus sebagai alat pembenaran belaka. Dalam setiap pidato, norma-norma konstitusi itu selalu dikutip dan dijadikan dasar pembenaran suatu kebijakan, tetapi isi kebijakan itu sama sekali tidak sungguh-sungguh melaksanakan isi amanat norma yang dikutip itu. Kebiasaan seperti ini lazim terjadi di banyak negara, terutama jika di negara yang bersangkutan tersebut tidak tersedia mekanisme untuk menilai konstitusionalitas kebijakan-kebijakan kenegaraan (state’s policies) yang mungkin menyimpang dari amanat undang-undang dasar. Dengan demikian, dalam praktik ketatanegaraan, baik bagian-bagian tertentu ataupun keseluruhan isi undang-undang dasar itu, dapat bernilai semantik saja. Sementara itu, pengertian-pengertian mengenai sifat konstitusi biasanya dikaitkan dengan pembahasan tentang sifat-sifatnya yang lentur (fleksibel) atau kaku (rigid), tertulis atau tidak tertulis, dan sifatnya yang formil atau materiil.

D.    Konstitusi-konstitusi yang Pernah Digunakan Indonesia

Suatu undang-undang dasar juga tidak lagi mencerminkan konstelasi politik atau tidak memenuhi harapan aspirasi rakyat dapat dibatalkan dan diganti dengan undang-undang dasar baru. (Miriam Budiardjo (2007: 104) mengemukakan undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia : (i) tahun 1945, UUD Ri secara defacto hanya berlaku di Jawa, Sumatra, Madura, (ii) Tahun 1949 UUD RI swcara defacto berlaku di seluruh Indonesia kecuali Irian Barat, (iii) Tahun 1959 UUD RI 45 dengan demokrasi terpimpin, disusul demokrasi Pancasila, mulai 1963 berlaku di seluruh Indonesia termasuk Irian Barat. Apabila ditinjau dari sudut perkembangan secara demokrasi Repoublik Indonesia, Miriam Budiardjo (2007: 105) membagi dalam tiga tahap, yaitu (i) masa 1945 - 1959 sebagai RI ke 1 (demokrasi parlementer) yang didasari tiga undang-undang dasar, yaitu UUD 1945, UUD 1949, UUD 1950, (ii) masa 1959 – 1965 sebagai republik ke 2 (demokrasi terpimpin) yang didasari UUD 1945, (iii) masa 1965 – sekarang sebagai republik Indonesia ke 3 (demokrasi Pancasila yang didasari UUD 1945). Pemikiran ini disampaikan pada tahun 1970an jauh hari sebelum jatuhnya rezim Soeharto, sehingga jika kita tinjau saat ini dapat ditambahkan masa republik ke 3 yaitu periode antara tahun 1965 dan 1998. Kemudian tahun 1998 sampai saat ini dapat ditambahkan masa republik ke 4 dengan menggunakan UUD 45 pasca amandemen ( demokrasi masa transisi)
Republik pertama:
UUD RI yang pertama adalah UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, berlaku secara nasional sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. Naskah undang-undang dasar pertama tersebut disahkan oleh Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI). Penyusunan naskah Rancangan UUD 1945 dimulai dari pembentuka BPUPKI yang dilantik pada tanggal 28 Mei 1945. Pembentukan badan ini merupakan realisasi janji pemerintah Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia kelak kemudian hari. BPUPKI mengadakan sidang-sidang yang dapat dikelompokkan menjadi 2 masa persidangan, sidang pertama tanggal 29 mei 1945 – 1 Juni 1945 dan masa persidangan kedua tanggal 10 Juli – 17 Juli 1945. Rancangan UUD meliputi (i) pernyataan Indonesia merdeka, (ii) pembukaan UUD, (iii) UUD yang terdiri atas pasal-pasal (Noor Ms Bakry, 1994: 23). Dengan selesainya tugas BPUPKI pemerintah Jepang membentuk PPKI untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kemerdekaan Indonesia. Pada sidang 18 Agustus PPKI berhasil mengesahkan naskah UUD 45 dari naskah RUUD hasil kerja BPUPKI dengan beberapa perubahan. Perubahan inti terutama tentang dasar negara yang semula berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sebagaimana termuat dalam piagam Jakarta diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 berlakulah Undang-Undang Dasar 1945. Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar ini system oemerintahan Indonesia bersifat presidensiil. Lebih lanjut, mulai bulan November 195, berdasarkan maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, Pengumuman Badan Pekerja 11 November 1945, dan Maklumat pemerintah tanggal 14 Nodember 1945, dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, tanggung jawab politik terletak di tangan para menteri.  Keadaan ini merupakan awal dari suatu sistem pemerintahan parlementer yang praktis dipertahankan sampai tahun 1959 pada masa Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali, mulai Dekrit Presiden. Jadi, mulai 14 November 1945 sampai 27 Desember1949 sistem pemerintahan yang diselenggarakan berlainan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (Miriam Budiardjo, 2007: 115-116).
Republik Kedua : Konstitusi RIS (27 Desember 1945-17 Agustus 1950)
            Dalam kondisi Indonesia menyatakan kemerdekaan, Belanda berkeinginan untuk berkuasa lagi di Indonesia, yaitu melalui Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun 1948. Karena mendapat perlawanan sengit bangsa Indonesia, Belanda gagal menguasai Indonesia. Pada tahun 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Salah satu hasil KMB itu adalah pendirian Republik Indonesia Serikat. Rancangan naskah Konstitusi Republik Indonesia Serikat juga diputuskan dalam KMB dan disepakati mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berdirinya negara Repulik Indonesia Serikat (RIS), negara Ripublik Indonesia (RI) secara hukum masih tetap ada. negara RI berubah status menjadi salah satu negara bagian dari RIS. Undang-Undang Dasar 1945 yang  sebelumnya berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia mulai tanggal 27 Desember 1949 hanya berlaku dalam wilayah Negara bagian Republik Indonesia saja.
Negara RIS dengan Konstitusi RIS-nya berlangsung sangat pendek karena memang tidak sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan yang menghendaki negara kesatuan, tidak sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan menghendaki negara kesatuan, tidak menginginkan negara dalam negara, sehingga beberapa negara bagian meleburkan diri dengan RI. semangat tersebut Nampak dengan adanya ketetapan Presiden RIS tentang penggabungan negara-negara bagian ke dalam Republik Indonesia. pada tanggal 19 Mei 1950 disusunlah Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS yang sekaligus mewakili negara bagian Indonesia Timur menyatakan menyetujui membentuk negara kesatuan. kemudian terbentuklah negara kesatuan dengan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tanggal 17 Agustus 1950 (Noor Ms Bakry 2001: 34).
Republik IndonesiabKetiga:  UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959)
            Negara kesatuan yang merupakan perubahan ketatanegaraan dari negara serikat itu menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang didalam pembukaannya memuat dasar negara Pancasila, tetapi pelaksanaan system pemerintahanya menggunakan kabinet parlementer. Dengan  demikian, sistem kabinet parlementer tidak cocok dengan jiwa Pancasila. Akibatnya  mudah bergonta-ganti kabinet, sehingga stabilitas nasional menjadi terganggu. dibawah UUDS 1950 sebagai realisasi dari pasal 134, pemilihan umum berhasil dilaksanakan, pada tanggal 29 September 1955. Konstituante sebagai Dewan Penyusunan Undangan-Undang dasar dalam sidangnya sejak tahun 1956 sampai tahun 1959 belum mendapatkan keberhasilan dalam membuat Undang-Undang Dasar baru karena kesulitan dalam tercapainya kesepakatan. Presiden Soekarno pun mencari jalan keluarnya dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang berisikan pernyataan sebagai berikut :
  1. menetapkan pembubaran Konstituante,
  2. menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit, dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950,
  3. menetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya pembentukan MPRS dan DPAS.
Melalui Dekrit ini terjadi perubahan katatanegaraan Indonesia,  yaitu naskah UUD 1945 menjadi berlaku kembali sebagai hukum tertinggi dalam negara Kesatuan Republik Indonesia.
Republik Indonesia Keempat: UUD 1945 Orde Lama (1959-1965)
            Ciri-ciri periode ini ialah adanya dominasi yang sangat kuat dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur politik. UUD 1945 memberi kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. akan tetapiketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 yang mengangkat Soekarno  sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini. Masih banyak lagi penyimpangan terhadap UUD 1945.
Republik Kelima: UUD 1945 Orde Baru (1966-1998)
            pergeseran kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto menimbulkan perubahan orde dari orde lama ke orde baru. implementasi UUD 1945 mengalami beberapa koreksi. Rakyat pun dapat merasakan adanya peningkatan kondisi di berbagai bidang kehidupan melalui srangkaian program yang dituangkan dalam GBHN dan repelita. Namun dalam perjalanannya, orde baru berubah wajah menjadi kekuasaan yang otoriter. kekuasaan tanpa control akibatnya pemerintahan orde baru cenderung melakukan penyimpangan diberbagai aspek kehidupan. Dengan dipelopori oleh mahasiswa, rakyat menuntut reformasi di segala bidang,. Akhirnya rezim orde baru tumbang dengan mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
Republik Keenam: UUD 1945 Diamandemen (1998-sekarang)
Amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan oelh bangsa Indonesia sejak tahun 1999, di mana amandemen yang peretamadilakukan  dengan memberikan tambahan dan perubahan terhadap 9 pasal UUD 1945 dan berlangsung seterusnya.

BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Istilah constitution bagi banyak sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara bagaimana pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Konstitusi-konstitusi tersebut memiliki karakteristik tertentu sehingga dapat dibeda-bedakan. Tiap konstitusi memiliki berbagai nilai didalamnya. konstitusi yang berubah maka akan mengubah pula struktur dalam negara tersebut seperti di Indonesia yang mengalami perubahan-perubahan konstitusi yang kemudian berpengaruh terhadap struktur negara.

DAFTAR PUSTAKA

Budiharjo, Miriam. 1989. Dasar-Dasar Ilmu Politik.. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Soenarso, dkk. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY Press

http://www.prince-mienu.blogspot.com (diakses pada 30 Oktober 2012)

0 Komentar:

Posting Komentar

cukup dengan saran saya akan sangat terkesan, :)