Sabtu, 31 Januari 2015

PERAN KONSTITUSI DALAM PERUBAHAN NEGARA

0

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas terselesaikannya pembuatan makalah ini dengan semaksimal mungkin.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan salah satu pokok bahasan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, yang mengkaji masalah konstitusi. Penulisan makalah ini lebih mendalami mengenai peran konstitusi dalam perubahan negara, untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan tahun akademik 2012/2013.
Dalam penyelesaiaan makalah ini, saya banyak mengalami kesulitan, yang disebabkan minimnya ilmu pengetahuan yang saya dimiliki. Namun berkat bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat diselesaikan walaupun masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaiaan makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik dan saran yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.


Yogyakarta, 27 Oktober 2012
         Penyusun



                     Dimas Indi Pramudita  

BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial-politik, bobroknya managemen negara yang memunculkan KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum. Itu terjadi karena ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 belum berjalan secara demokratis, yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian bergantung pada penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa akan berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.
Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik dan terpenting dari proses perubahan atau pergantian konstitusi ini. Karena dari sini akan dapat terlihat apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga masyarakat, dan apakah telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan.
Dengan melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah mencerminkan kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi menjadi monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.

  1. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian dan hakekat konstitusi negara?
2.      Apa saja macam konstitusi?
3.      Apakah nilai yang terkandung dalam konstitusi?
4.      Apa saja pengaruh konstitusi dalam perubahan negara Indonesia?
  1. TUJUAN
1.      Mengetahui pengertian dan hakekat konstitusi negara.
2.      Mengetahui macam konstitusi.
3.      Mengetahui nilai yang terkandung dalam konstitusi.
4.      Mengetahui pengaruh konstitusi dalam perubahan negara Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Hakekat Konstitusi Negara
Istilah dalam bahasa inggris constitution, bahasa Belanda constitutie, bahasa Indonesia Undang-undang dasar. Istilah constitution bagi banyak sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara bagaimana pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Pengertian konstitusi itu dalam praktik ketatanegaraan pada umumnya dipahami secara, lebih luas daripada UUD atau sama dengan pengertian Undang-Undang Dasar.
            Kata konstitusi dapat mempunyai arti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar hanya meliputi naskah tertulis saja dan disamping itu masih terdapat konstitusi yang tidak tertulis, yang tidak tercakup dalam Undang-Undang Dasar (Kaelan, 2004:180). Para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 menganut arti konstitusi lebih luas daripada Undang-Undang Dasar karena penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa :

Undang-Undang Dasar ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar negara itu. Undang-Undang Dasar adalah hukum yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar juga berlaku hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.
Namun dalam masa Republik Indonesia Serikat, yaitu antara 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, penyusun kostitusi RIS menerjemahkan secara sempit istilah konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Hal ini terbukti dengan disebutnya istilah konstitusi Republik Indonesia Serikat bagi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (Totopandoyo, 1981: 25-26). Menurut E.C.S Wade dalam bukunya Constitusional Law (Miriam Budiardjo, 2007, 96) Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
            Ditinjau dari segi kekuasaan, Undang-Undang Dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas-asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan itu dibagi antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Undang-Undang Dasar menentukan bagaimana pusat-pusat kekuasaan itu bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain. Undang-Undang Dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara.
            Dalam negara yang menganut asa demokrasi konstitusional Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintahan sedemikian rupa sehingga penyelenggaran kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, hak-hak warga negara diharapkan terlindungi. Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam undang-undang dasar. Jadi, dalam anggapan ini Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi yang harus ditaati, tidak hanya oleh rakyat, tetapi oleh pemerintah serta penguasa sekalipun.
            Setiap undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut: (i) organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antar badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; dalam negara federal pembagian kekuasaan antar pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian; prosedur penyelesaian masalah pelanggaran yurisduksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya, (ii) hak-hak asasi manusia, (iii) prosedur mengubah undang-undang dasar, (iv) ada kalanya larangan untuk mengubah sifat tetentu dari undang-undang dasar untuk menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi, (v) memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara (miriam Budiardjo, 2007: 101).

B.     Macam Konstitusi
Macam – macam konstitusi Menurut CF. Strong konstitusi terdiri dari:
a). Konstitusi tertulis (dokumentary constiutution / writen constitution) adalah aturan – aturan pokok dasar negara , bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa didalam persekutuan hukum negara.
b). Konstitusi tidak tertulis / konvensi(nondokumentary constitution) adalah berupa kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul.
c). Konstitusi Formil yaitu konstitusi tertulis.
d). Konstitusi Materiil yaitu dilihat dari segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara.
Secara teoritis konstitusi dibedakan menjadi:
a)      konstitusi politik adalah berisi tentang norma- norma dalam penyelenggaraan negara, hubungan rakyat dengan pemerintah, hubuyngan antar lembaga negara.
b)      Konstitusi sosial adalah konstitusi yang mengandung cita – cita sosial bangsa, rumusan filosofis negara, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang ingin dikembangkan bangsa itu.
Bedasarkan sifat dari konstitusi yaitu:
a) Flexible /atau luwes apabila konstitusi / undang undang dasar memungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan.
b) Rigid atau kaku apabila konstitusi atau undang undang dasar sulit untuk diubah.

C.    Nilai-nilai dalam Konstitusi
Nilai konstitusi yang dimaksud di sini adalah nilai (values) sebagai hasil penilaian atas pelaksanaan norma-norma dalam suatu konstitusi dalam kenyataan praktik. Sehubungan dengan hal itu, Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of Constitutions” membedakan 3 (tiga) macam nilai atau the values of the constitution, yaitu (i) normative value; (ii) nominal value; dan (iii) semantical value. Jika berbicara mengenai nilai konstitusi, para sarjana hukum kita selalu mengutip pendapat Karl Loewenstein mengenai tiga nilai normatif, nominal, dan semantik ini. Menurut pandangan Karl Loewenstein, dalam setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai praktik. Artinya, sebagai hukum tertinggi di dalam konstitusi itu selalu terkandung nilai-nilai ideal sebagai das sollen yang tidak selalu identik dengan dasein atau keadaan nyatanya di lapangan. Jika antara norma yang terdapat dalam konsititusi yang bersifat mengikat itu dipahami, diakui,diterima,dan dipatuhi oleh subjek hukum yang terikat padanya, maka konstitusi itu dinamakan sebagai konstitusi yang mempunyai nilai normatif. Kalaupun tidak seluruh isi konstitusi itu demikian, akan tetapi setidak-tidaknya norma-norma tertentu yang terdapat di dalam konstitusi itu apabila memang sungguh-sungguh ditaati dan berjalan sebagaimana mestinya dalam kenyataan, maka norma-norma konstitusi dimaksud dapat dikatakan berlaku sebagai konstitusi dalam arti normatif. Akan tetapi, apabila suatu undang-undang dasar, sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyataannya tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, maka konstitusi tersebut dapat dikatakan sebagai konstitusi yang bernilai nominal. Manakala dalam kenyataannya keseluruhan bagian atau isi undang-undang dasar itu memang tidak dipakai dalam praktik, maka keseluruhan undang-undang dasar itu dapat disebut bernilai nominal. Misalnya, norma dasar yang terdapat dalam konstitusi yang tertulis (schreven constitutie) menentukan A, akan tetapi konstitusi yang dipraktikkan justru sebaliknya yaitu B, sehingga apa yang tertulis secara expressis verbis dalam konstitusi sama sekali hanya bernilai nominal saja.
Dapat pula terjadi bahwa yang dipraktikkan itu hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang dasar, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normative hanya sebagian, sedangkan sebagian lainnya hanya bernilai nominal sebagai norma-norma hukum di atas kertas “mati”. Sedangkan konstitusi yang bernilai semantik adalah konstitusi yang norma-norma yang terkandung di dalamnya hanya dihargai di atas kertas yang indah dan dijadikan jargon, semboyan, ataupun “gincu-gincu ketatanegaraan” yang berfungsi sebagai pemanis dan sekaligus sebagai alat pembenaran belaka. Dalam setiap pidato, norma-norma konstitusi itu selalu dikutip dan dijadikan dasar pembenaran suatu kebijakan, tetapi isi kebijakan itu sama sekali tidak sungguh-sungguh melaksanakan isi amanat norma yang dikutip itu. Kebiasaan seperti ini lazim terjadi di banyak negara, terutama jika di negara yang bersangkutan tersebut tidak tersedia mekanisme untuk menilai konstitusionalitas kebijakan-kebijakan kenegaraan (state’s policies) yang mungkin menyimpang dari amanat undang-undang dasar. Dengan demikian, dalam praktik ketatanegaraan, baik bagian-bagian tertentu ataupun keseluruhan isi undang-undang dasar itu, dapat bernilai semantik saja. Sementara itu, pengertian-pengertian mengenai sifat konstitusi biasanya dikaitkan dengan pembahasan tentang sifat-sifatnya yang lentur (fleksibel) atau kaku (rigid), tertulis atau tidak tertulis, dan sifatnya yang formil atau materiil.

D.    Konstitusi-konstitusi yang Pernah Digunakan Indonesia

Suatu undang-undang dasar juga tidak lagi mencerminkan konstelasi politik atau tidak memenuhi harapan aspirasi rakyat dapat dibatalkan dan diganti dengan undang-undang dasar baru. (Miriam Budiardjo (2007: 104) mengemukakan undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia : (i) tahun 1945, UUD Ri secara defacto hanya berlaku di Jawa, Sumatra, Madura, (ii) Tahun 1949 UUD RI swcara defacto berlaku di seluruh Indonesia kecuali Irian Barat, (iii) Tahun 1959 UUD RI 45 dengan demokrasi terpimpin, disusul demokrasi Pancasila, mulai 1963 berlaku di seluruh Indonesia termasuk Irian Barat. Apabila ditinjau dari sudut perkembangan secara demokrasi Repoublik Indonesia, Miriam Budiardjo (2007: 105) membagi dalam tiga tahap, yaitu (i) masa 1945 - 1959 sebagai RI ke 1 (demokrasi parlementer) yang didasari tiga undang-undang dasar, yaitu UUD 1945, UUD 1949, UUD 1950, (ii) masa 1959 – 1965 sebagai republik ke 2 (demokrasi terpimpin) yang didasari UUD 1945, (iii) masa 1965 – sekarang sebagai republik Indonesia ke 3 (demokrasi Pancasila yang didasari UUD 1945). Pemikiran ini disampaikan pada tahun 1970an jauh hari sebelum jatuhnya rezim Soeharto, sehingga jika kita tinjau saat ini dapat ditambahkan masa republik ke 3 yaitu periode antara tahun 1965 dan 1998. Kemudian tahun 1998 sampai saat ini dapat ditambahkan masa republik ke 4 dengan menggunakan UUD 45 pasca amandemen ( demokrasi masa transisi)
Republik pertama:
UUD RI yang pertama adalah UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, berlaku secara nasional sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. Naskah undang-undang dasar pertama tersebut disahkan oleh Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI). Penyusunan naskah Rancangan UUD 1945 dimulai dari pembentuka BPUPKI yang dilantik pada tanggal 28 Mei 1945. Pembentukan badan ini merupakan realisasi janji pemerintah Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia kelak kemudian hari. BPUPKI mengadakan sidang-sidang yang dapat dikelompokkan menjadi 2 masa persidangan, sidang pertama tanggal 29 mei 1945 – 1 Juni 1945 dan masa persidangan kedua tanggal 10 Juli – 17 Juli 1945. Rancangan UUD meliputi (i) pernyataan Indonesia merdeka, (ii) pembukaan UUD, (iii) UUD yang terdiri atas pasal-pasal (Noor Ms Bakry, 1994: 23). Dengan selesainya tugas BPUPKI pemerintah Jepang membentuk PPKI untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kemerdekaan Indonesia. Pada sidang 18 Agustus PPKI berhasil mengesahkan naskah UUD 45 dari naskah RUUD hasil kerja BPUPKI dengan beberapa perubahan. Perubahan inti terutama tentang dasar negara yang semula berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sebagaimana termuat dalam piagam Jakarta diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 berlakulah Undang-Undang Dasar 1945. Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar ini system oemerintahan Indonesia bersifat presidensiil. Lebih lanjut, mulai bulan November 195, berdasarkan maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, Pengumuman Badan Pekerja 11 November 1945, dan Maklumat pemerintah tanggal 14 Nodember 1945, dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, tanggung jawab politik terletak di tangan para menteri.  Keadaan ini merupakan awal dari suatu sistem pemerintahan parlementer yang praktis dipertahankan sampai tahun 1959 pada masa Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali, mulai Dekrit Presiden. Jadi, mulai 14 November 1945 sampai 27 Desember1949 sistem pemerintahan yang diselenggarakan berlainan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (Miriam Budiardjo, 2007: 115-116).
Republik Kedua : Konstitusi RIS (27 Desember 1945-17 Agustus 1950)
            Dalam kondisi Indonesia menyatakan kemerdekaan, Belanda berkeinginan untuk berkuasa lagi di Indonesia, yaitu melalui Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun 1948. Karena mendapat perlawanan sengit bangsa Indonesia, Belanda gagal menguasai Indonesia. Pada tahun 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Salah satu hasil KMB itu adalah pendirian Republik Indonesia Serikat. Rancangan naskah Konstitusi Republik Indonesia Serikat juga diputuskan dalam KMB dan disepakati mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berdirinya negara Repulik Indonesia Serikat (RIS), negara Ripublik Indonesia (RI) secara hukum masih tetap ada. negara RI berubah status menjadi salah satu negara bagian dari RIS. Undang-Undang Dasar 1945 yang  sebelumnya berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia mulai tanggal 27 Desember 1949 hanya berlaku dalam wilayah Negara bagian Republik Indonesia saja.
Negara RIS dengan Konstitusi RIS-nya berlangsung sangat pendek karena memang tidak sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan yang menghendaki negara kesatuan, tidak sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan menghendaki negara kesatuan, tidak menginginkan negara dalam negara, sehingga beberapa negara bagian meleburkan diri dengan RI. semangat tersebut Nampak dengan adanya ketetapan Presiden RIS tentang penggabungan negara-negara bagian ke dalam Republik Indonesia. pada tanggal 19 Mei 1950 disusunlah Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS yang sekaligus mewakili negara bagian Indonesia Timur menyatakan menyetujui membentuk negara kesatuan. kemudian terbentuklah negara kesatuan dengan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tanggal 17 Agustus 1950 (Noor Ms Bakry 2001: 34).
Republik IndonesiabKetiga:  UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959)
            Negara kesatuan yang merupakan perubahan ketatanegaraan dari negara serikat itu menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang didalam pembukaannya memuat dasar negara Pancasila, tetapi pelaksanaan system pemerintahanya menggunakan kabinet parlementer. Dengan  demikian, sistem kabinet parlementer tidak cocok dengan jiwa Pancasila. Akibatnya  mudah bergonta-ganti kabinet, sehingga stabilitas nasional menjadi terganggu. dibawah UUDS 1950 sebagai realisasi dari pasal 134, pemilihan umum berhasil dilaksanakan, pada tanggal 29 September 1955. Konstituante sebagai Dewan Penyusunan Undangan-Undang dasar dalam sidangnya sejak tahun 1956 sampai tahun 1959 belum mendapatkan keberhasilan dalam membuat Undang-Undang Dasar baru karena kesulitan dalam tercapainya kesepakatan. Presiden Soekarno pun mencari jalan keluarnya dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang berisikan pernyataan sebagai berikut :
  1. menetapkan pembubaran Konstituante,
  2. menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit, dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950,
  3. menetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya pembentukan MPRS dan DPAS.
Melalui Dekrit ini terjadi perubahan katatanegaraan Indonesia,  yaitu naskah UUD 1945 menjadi berlaku kembali sebagai hukum tertinggi dalam negara Kesatuan Republik Indonesia.
Republik Indonesia Keempat: UUD 1945 Orde Lama (1959-1965)
            Ciri-ciri periode ini ialah adanya dominasi yang sangat kuat dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur politik. UUD 1945 memberi kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. akan tetapiketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 yang mengangkat Soekarno  sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini. Masih banyak lagi penyimpangan terhadap UUD 1945.
Republik Kelima: UUD 1945 Orde Baru (1966-1998)
            pergeseran kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto menimbulkan perubahan orde dari orde lama ke orde baru. implementasi UUD 1945 mengalami beberapa koreksi. Rakyat pun dapat merasakan adanya peningkatan kondisi di berbagai bidang kehidupan melalui srangkaian program yang dituangkan dalam GBHN dan repelita. Namun dalam perjalanannya, orde baru berubah wajah menjadi kekuasaan yang otoriter. kekuasaan tanpa control akibatnya pemerintahan orde baru cenderung melakukan penyimpangan diberbagai aspek kehidupan. Dengan dipelopori oleh mahasiswa, rakyat menuntut reformasi di segala bidang,. Akhirnya rezim orde baru tumbang dengan mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
Republik Keenam: UUD 1945 Diamandemen (1998-sekarang)
Amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan oelh bangsa Indonesia sejak tahun 1999, di mana amandemen yang peretamadilakukan  dengan memberikan tambahan dan perubahan terhadap 9 pasal UUD 1945 dan berlangsung seterusnya.

BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Istilah constitution bagi banyak sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara bagaimana pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Konstitusi-konstitusi tersebut memiliki karakteristik tertentu sehingga dapat dibeda-bedakan. Tiap konstitusi memiliki berbagai nilai didalamnya. konstitusi yang berubah maka akan mengubah pula struktur dalam negara tersebut seperti di Indonesia yang mengalami perubahan-perubahan konstitusi yang kemudian berpengaruh terhadap struktur negara.

DAFTAR PUSTAKA

Budiharjo, Miriam. 1989. Dasar-Dasar Ilmu Politik.. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Soenarso, dkk. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY Press

http://www.prince-mienu.blogspot.com (diakses pada 30 Oktober 2012)

Rabu, 28 Januari 2015

KONDISI FISIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DESA

0

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Masyarakat Desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama, bekerja sama dan berhubungan erat secara lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam.
Adapun ciri yang menonjol pada masyarakat desa  pada umumnya kehidupannya tergantung pada alam (bercocok tanam), anggotanya saling mengenal, sifat gotong royong, erat penduduknya, sedikit perbedaan penghayatan dalam kehidupan religi lebih kuat. Karakteristik masyarakat desa dapat ditinjau dari segi geografis, sosiologis, dan antroplogis, yang di dalamnya memiliki cirri tertentu.
Dari tinjauan geografis, desa dapat dilihat sebagai suatu wujud kenampakkan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur-unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah yang lain. Kemudian dari tinjauan sosiologis dapat dilihat dari stratifikasi sosial, diferensiasi sosial, mobilitas sosial, interaksi sosial, solidaritas sosial, kontrol sosial. Sedangkan dari tinjauan antropologi dapat dilihat dari kebudayaan masyarakat desa.

B.      Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Masyarakat Desa ?
2.      Bagaimana karakteristik Masyarakat Desa ?
3.      Bagaimana tipologi Masyarakat Desa ?
4.      Bagaimana karakteristik masyarakat desa dilihat dari tinjauan geografis ?
5.      Bagaimana karakteristik Masyarakat Desa dilihat dari tinjauan sosiologis ?
6.      Bagaimana karakteristik Masyarakat Desa dilihat dari tinjauan antropologi ?
7.      Bagaimana kondisi sosial budaya Masyarakat Desa ?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian masyarakat desa.
2.      Mengetahui karakteristik masyarakat desa.
3.      Mengetahui tipologi masyarakat desa.
4.      Mengetahui ciri-ciri Masyarakat Desa dilihat dari tinjauan geografis.
5.      Mengetahui ciri-ciri Masyarakat Desa dilihat dari tinjauan sosiologis.
6.      Mengetahui ciri-ciri Masyarakat Desa dilihat dari tinjauan antropologi.
7.      Mengetahui kondisi sosial budaya masyarakat desa.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Masyarakat Desa
Desa menurut R. Bintarto (1983) adalah suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Dari hasil perpaduan itu adalah suatu wujud kenampakkan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsure-unsur fisiografis, sosial, ekonomi, politik, dan cultural yang saling berinteraksi antar unsure-unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah yang lain.
Selain itu, Bintarto (1977:10) juga membedakan pengertian desa berdasarkan artian umum, yaitu desa sebagai unit – unit pemusatan penduduk yang bercorak agraris dan terletak jauh dari kota dan desa dan desa dalam artian administratif, yaitu desa sebagai kesatuan administratif yang dikenal dengan istilah kelurahan, karena pimpinan desanya adalah lurah.
Menurut Sutardjo Kartohadikusumo (1953) desa ialah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa menadakan pemerintahan sendiri.
Dengan demikian, desa dapat dikatakan sebagai kesatuan wilayah yang berpenduduk, berpenghasilan, berpemerintahan sendiri dan beralokasi jauh dari pusat pemerintahan tingkat pusat. Meskipun unsur-unsur tersebut tidak selalu pasti, tetapi kenyataan di Indonesia menunjukkan kecenderungan ke arah itu, mengingat di tingkat Ibu Kota Kabupaten, Ibu Kota Provinsi, dan Ibu Kota Negara tidak terdapat di desa.

B.     Karakteristik Masyarakat Desa
Karakteristik desa adalah cirikhas yang melekat pada unsur – unsur desa, yang memberikan kekhususan dan perbedaannya, sehingga merupakan ciri yang melekat pada istilah yang disebut Desa. Karakteristik desa yang dikemukakan oleh Roucek & Warren (1963:78) sebagai berikut:
1.         Masyarakat desa memiliki sifat yang homogen dalam hal mata pencaharian, nilai – nilai dalam kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku.
2.         Kehidupan di desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi. Artinya semua anggota keluarga turut bersama terlibat dalam kegiatan mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.
3.         Faktor geografis sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada. Misalnya keterkaitan anggota masyarakat dengan tanah atau desa kelahirannya.
4.         Hubungan sesama anggota masyarakat lebih intim dan awet dari pada kota, serta jumlah anak yang ada dalam keluarga inti lebih besar dan banyak.
Secara umum, dalam kehidupan masyarakat di pedesaan dapat dilihat dari beberapa karakteristik yang mereka miliki. Karakteistik tersebut adalah :
1.      Sistem kehidupan yang ada pada umumnya berkelompok danagn dasar kekeluargaan.
2.      Masyarakat bersifat homogen (seragam), seperti dalam hal mata pencaharian, agama, tata pengaturan sosial, dan adat istiadat.
3.      Hubungan antarwarga desa terjalin lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan hubungan mereka dengan masyarakat lainnya diluar batas wilayah desanya.
4.      Mata pencaharian utama penduduk umumnya adlah bertani.
5.      Kontrol sosial ditentukan oleh nilai moral dan hukum internal (hukum adat).
6.      Penduduk desa kebanyakan berpendidikan rendah.

C.    Tipologi Masyarakat Desa
Tipologi dari masyarakat desa akan secara mudah diketahui jika dihubungkan dengan kegiatan pokok yang ditekuni guna memenuhi kebutuhan hidup sehari – sehari, anatara lain :
1.      Tipologi Desa dilihat dari Sistem Ikatan Kekerabatan
Berdasarkan ciri-ciri fisik desa dalam sistem kehidupan masyarakat, maka terbentuklah ikatan-ikatan kekerabatan di dalam wilayah pemukiman penduduk. Setidaknya ada tiga sistem ikatan kekerabatan yang membentuk tipe-tipe desa di Indonesia, yakni:
a.         Tipe desa geneologis, yaitu suatu desa yang ditempati oleh sejumlah penduduk dimana masyarakatnya mempunyai ikatan secara keturunan atau masih mempunyai hubungan pertalian darah. Desa yang terbentuk secara geneologis dapat dibedakan atas tipe patrilineal, matrilineal, dan campuran.
b.         Tipe desa teritorial, yaitu suatu desa yang ditempati sejumlah penduduk atas dasar suka rela. Desa teritorial terbentuk menjadi tempat pemukiman penduduk berdasarkan kepentingan bersama, dengan demikian mereka tinggal di suatu desa yang menjadi suatu masyarakat hukum dimana ikatan warganya didasarkan atas ikatan daerah, tempat atau wilayah tertentu.
c.         Tipe desa campuran, yaitu suatu desa dimana penduduknya mempunyai ikatan keturunan dan wilayah. Dalam bentuk ini, ikatan darah dan ikatan wilayah sama kuatnya.

2.      Tipologi Desa dilihat dari Hamparan Wilayah
Berdasarkan hamparan wilayahnya, maka desa dapat diklasifikasikan atas desa pedalaman dan desa pantai/pesisir.
a.       Desa pedalaman adalah desa-desa yang tersebar di berbagai pelosok yang jauh dari kehidupan kota. Suasana ideal desa pedalaman pada umumnya lebih diwarnai dengan nuansa kedamaian, yaitu kehidupan sederhana, sunyi, sepi dalam lingkungan alam yang bersahabat.
b.       Desa pantai adalah desa-desa yang tersebar di berbagai kawasan pesisir dan di pulau-pulau kecil yang pada umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan dan hasil laut, dan sebagian juga penduduknya sebagai petani subsistensi.

3.        Tipologi Desa dilihat dari Pola Pemukiman
Menurut Paul Landis (1948 :17) pada dasarnya terdapat empat tipe desa pertanian:
a.       Farm village type, yaitu suatu desa dimana orang bermukim secara besama-sama dalam suatu tempat dengan sawah ladang yang berada di sekitar tempat mereka. Tipe desa seperti ini banyak dijumpai di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
b.      Nebulous farm village type, yaitu suatu desa dimana penduduknya bermukim bersama di suatu tempat, dan sebagian lainnya menyebar di luar pemukiman tersebut bersama sawah ladangnya.
c.        Arranged isolated farm type, yaitu suatu desa dimana penduduknya bermukim di sekitar jalan-jalan yang menghubungkan dengan pusat perdagangan (trade center) dan selebihnya adalah sawah ladang mereka.
d.       Pure isolated farm type, yaitu suatu desa di mana penduduknya bermukim secara tersebar bersama sawah ladang mereka masing-masing.

4.      Tipologi Desa Berdasarkan Mata Pencaharian
Tipe masyarakat desa berdasarkan mata pencaharian pokok dapat diklasifikasikan dalam desa pertanian dan desa industri.


a.       Desa pertanian terdiri atas:
1)      Desa pertanian dalam artian sempit yang meliputi: desa pertanian lahan basah dan lahan kering.
2)      Desa dalam artian luas yang meliputi: desa perkebunan milik rakyat, desa perkebunan milik swasta, desa nelayan tambak, desa nelayan laut, dan desa peternakan.
b.      Desa industri yang memproduksi alat pertanian secara tradisional maupun modern.

5.      Tipologi Desa Berdasarkan Perkembangannya
Berdasarkan perkembangannya, tipe desa di Indonesia terbagi atas empat tipe, yakni:
a.       Pra desa (desa tradisional)
Tipe desa semacam ini pada umumnya dijumpai dalam kehidupan masyarakat adat terpencil, dimana seluruh kehidupan masyarakatnya termasuk teknologi bercocok tanam, cara memelihara kesehatan, cara makan dan sebagainya masih sangat tergantung pada alam sekeliling mereka. Tipe desa seperti ini cenderung bersifat sementara.
b.      Desa swadaya
Desa ini memiliki kondisi yang relatif statis tradisional, dalam artian masyarakatnya sangat tergantung pada keterampilan dan kemampuan pimpinannya. Kehidupan masyarakat sangat tergantung pada alam yang belum diolah dan dimanfaatkan secara baik. Susunan kelas dalam masyarakat masih bersifat vertikal dan statis, serta kedudukan seseorang dinilai menurut keturunan dan luasnya pemilikan tanah.
c.       Desa swakarya
Keadaan desa ini sudah mulai disentuh oleh anasir-anasir (unsur) dari luar berupa adanya pembaharuan yang sudah mulai dirasakan oleh anggota masyarakat. Benih-benih demokrasi dalam pem-bangunan sudah mulai tumbuh, karya dan jasa serta keterampilan mulai menjadi ukuran dalam penilaian, bukan lagi semata-mata pada keturunan dan luas pemilikan tanah, mobilitas sosial baik vertikal maupun horizontal mulai ada.
d.      Desa swasembada
Masyarakat telah maju, sudah mengenal mekanisasi pertanian, mulai menggunakan ilmiah, unsur partisipasi masyarakat sudah efektif, norma-norma penilaian sosial selalu dihubungkan dengan kemampuan dan keterampilan seseorang, dan yang tidak kalah pentingnya adalah sudah terdapat golongan pengusaha yang berani mengambil resiko dalam menanam modal (interpreneur).

D.    Masyarakat Desa dilihat dari Tinjauan Geografis
Menurut R. Bintarto (1983) desa adalah suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Dari hasil perpaduan itu adalah suatu wujud kenampakkan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomi, politik, dan cultural yang saling berinteraksi antar unsure-unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah yang lain. Potensi Fisis Desa berupa tanah, air, ternak, dan iklim merupakan peranan penting bagi desa agraris.
Kalau kita amati kepadatan di daerah pedesaan, tempat tinggal penduduk biasanya terkonsentrasi  pada satu perumahan -  perumahan yang dikelilingi oleh tanah – tanah pertanian. Aktivitas – aktivitas pertanian mengharuskan para petani bekerja diluar rumah dan petani secara langsung terpengaruh oleh cuaca.
Pola persebaran desa dan pemusatan penduduk desa sangat dipengaruhi oleh keadaan tanah, tata air, topografi, dan ketersediaan sumber daya alam yang terdapat di desa tersebut. Ada tiga pola penyebaran desa dalam hubungannya dengan bentang alamnya, yaitu sebagai berikut :
a.       Pola Terpusat
Pola terpusat memiliki ciri permukaan desa saling menggerombol atau mengelompok. Jarak tanah garapan untuk pertanian relatif jauh dari lokasi rumah penduduk.
b.      Pola Tersebar
Pola tersebar memiliki ciri pemukiman penduduk menyebar di daerah pertaniannya. Antara perumahan satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh jalur– jalur lalu lintas untuk keperluan bidang perdagangan. Pola tersebar biasanya terletak di daerah yang homogen tetapi kesuburan tanah tidak merata.
c.       Pola Memanjang
 Pola memanjang memiliki ciri pemukiman berupa deretan memanjang. Kanan kiri pemukiman adalah jalan, jalur sungai, dan daerah pantai.

E.     Masyarakat Desa dilihat dari Tinjauan Sosiologis
Dalam kajiannya, pengertian desa mestilah dibedakan antara rural dan village. Rural lebih bermakna sebagai perdesaan dengan ciri – ciri khas pada karateristik masyarakat, sedangkan makna village sebagai suatu unit territorial. Dengan demikian, suatu perdesaan (rural) dapat mencakup satu desa (village) atau sejumlah desa.
1.      Diferensiasi Sosial
Diferensiasi sosial sangat dipengaruhi oleh banyaknya kelompok sosial yang ada. Jumlah kelompok sosial di perdesaan sendiri tidak sebanyak dan sekompleks masyarakat perkotaan, karena homogenitas masyarakat desa. Daerah pedesaan pada dasarnya adalah homogen. Dan hampir semua penduduknya mempunyai keseragaman dalam bidang pekerjaan, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena faktor generasi yang turun-temurun tinggal desa tersebut.
Diferensiasi sosial pada masyarakat desa tidak begitu besar, karena adanya heterogenitas sehingga hubungan antara individu dengan masyarakat  sangat dekat. Penduduk pedesaan mempunyai ikatan erat, karena struktur masyarakatnya yang sedemikian rupa sehingga membuat perbedaan – perbedaan di antara mereka tidak brgitu besar. Satu hal yang paling penting bahwa mereka tidak berasal dari latar belakang yang berbeda – beda.
2.Stratifikasi Sosial
Terdapat empat perbedaan pokok di antara piramida sosial yang ada di pedesaan dengan di perkotaan, yaitu :
a.       Jumlah kelas sosial di pedesaan lebih sedikit, dari pada di perkotaan.
b.       Perbedaan kelas social yang satu dengan yang lain di pedesaan tidak begitu besar.
c.       Jarak kelas sosial di perdesaan cenderung kecil di bandingkan di perkotaan.
d.      Prinsip kasta di perkotaan tidaklah selaku seperti di pedesaan.
3.Mobilitas Sosial
Banyaknya variasi dalam profesi mempermudah penduduk kota untuk berpindah status dari status satu ke status yang lain. Di pedesaan perpindahan status sangat jarang terlihat. Disamping tidak adanya variasi lapangan pekerjaan atau tingkatan status yang akan mereka capai, sikap dan keinginan mereka pindah profesi kelihantannya sangat kecil. Mobilitas yang terjadi di pedesaan lebih sering berbentuk mobilitas horizontal dalam arti lain, mobilitas yang tidak memberikan peningkatan dalam strata sosial yang ada.
4.Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan dasar bagi terjadianya proses – proses sosial. Interaksi sosial adalah hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara perorangan, antara kelompok manusia, dan antara perorangan dengan kelompok.Proses interaksi masyarakat desa sangat berbeda dengan masyarakat kota. Perbedaan ini tentu disebabkan oleh faktor – faktor yang mempengaruhi sikap dan tingkah laku interaksi sosial dari kedua kelompok masyarakat.  Hal itu disebutkan oleh Sorokin dan Zimmerman (Smith, T. Lynn, 1951:56):
         Area kontak bagi masyarakat desa lebih sempit dan terbatas dibanding kota.
         Totalitas interaksi yang dilakukan masyarakat desa lebih bersifat langsung dibanding masyarakat kota.
         Kontak di perdesaan lebih personal dibanding kota yang impersonal.
         Kontak sosial di perdesaan bersifat permanen, erat, dan bertahan lama dibanding kota.
  Interaksi masyarakat perdesaan kurang terdiferensiasi dan kompleks disbanding masyarakat kota.
5.Solidaritas Sosial
Pada masyarakat pedesaan, kesatuan di dasrakan atas persamaan – persamaan – persamaan, yaitu kesatuan yang dihasilkan dari sifat – sifat atau ciri –ciri sama, tujuan – tujuan yang sama, pengalaman – pengalaman yang relatif sama dan dilandasi hubungan yang bersifat informal dan terikat kontrak..Solidaritas sosial di masyarakat perdesaan lebih kepada solidaritas mekanis, karena dilandasi oleh sifat serta cirri-ciri yang sama, tujuan, serta pengalaman yang sama. Hal tersebut diikuti oleh hubungan informal dan tidak terikat kontrak.
Kadar solidaritas ditentukan oleh jumlah faktor yang terkumpul, yang menjadi landdasan terciptanya integrasi. Semakin banyak faktor yang kumpul semakin tinggi solidaritas kelompok. Unsur – unsur tersebut berupa marga, pernikahan, persamaan agama, persamaan bahasa dan adat, kesamaan tanah, wilayah, tanggung jawab atas pekerjaan yang sama dan dalam mempertahankan ketertiban, ekonomi, atasan yang sama, ikatan kepada lembaga yang sama, pertahanan bersama, bantuan bersama – sama dan pengalaman, tindakan, dan kehidupan bersama (Soesanto, 1977:135).
6.      Kontrol Sosial
Kontrol sosial merupakan suatua proses yang bertujuan untuk mendisiplinkan para anggota kelompok dan menghindarkan atu membatasi adanya penyelewengan – penyelewengan dari norma – norma kelompok
Pada masyarakat perdesaan, kontrol sosial masih cukup besar. Di perdesaan orang lebih banyak bertindak sesuai keinginan orang banyak atau kepentingan bersama dibanding kepentingan pribadi. Kontrol sosial tersebut dapat berjalan efektif karena hubungan yang erat satu sama lain dan bersifat personal.

F.     Masyarakat Desa dilihat dari Antropologi
1.      Pola kebudayaan Desa
a.       Interaksi antar warga pedesaan lebih erat bila dibandingkan antara warga desa yang satu dengan warga desa yang lain
b.      Perhatian utama adalah pemenuhan hidup
c.       Sistem kehidupan berkelompok atas dasar kekeluargaan
d.      Mata pencaharian utama Pertanian (earth bound):
2.      Implementasi teori kebudayaan para ahli terhadap masyarakat desa
·         Implementasi teori solidaritas Emile Durkheim terhadap kebudayaan masyarakat desa.
Sebagian besar masyarakat desa masih memelihara nilai – nilai gotong royong, tolong – menolong, semangat kebersamaan, serta rasa kesatuan yang kuat masyarakat dan jika ada yang tidak melakukan atau menjaga hal tersebut akan mendapatkan sanksi dari masyarakat sekitar yang berupa celaan, gunjingan, dan lain - lain. Sedangkan,ciri utama dari solideritas mekanik adalah solideritas mekanik didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam hal kepercayaan, sentiment, dan lain - lain.
·         Implementasi teori modernitas Goerge Simmel terhadap kebudayaan masyarakat desa
Dalam masyarakat desa modernitas yang terjadi cenderung bersifat lambat Hal ini dikarenakan akses informasi yang cenderung lambat. Modernitas di desa merupakan modernitas yang berasal dari kota. Di mana apa yang menjadi modernitas di desa merupakan modernitas yang telah terjadi di masyarakat kota. Namun biasanya ketika masyarakat kota sudah mulai meninggalkan kebudayaan tersebut, masyarakat desa justru mulai cenderumerintis atau mengaplikasikan kebudayaan tersebut. Hal ini dikarenakan akses informasi yang cenderung lambat.

G.    Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Desa
Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian diantara unsur-unsur yang saling berbeda yang ada dalam kehidupan sosial sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. Dengan memahami definisi perubahan sosial dan budaya di atas, maka suatu perubahan dikatakan sebagai perubahan sosial budaya apabila memiliki karakteristik sebagai berikut.
1. Tidak ada masyarakat yang perkembangannya berhenti karena setiapmasyarakat mengalami perubahan secara cepat ataupun lambat.
2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan akan diikuti.
3. Perubahan pada lembaga sosial yang ada.
4. Perubahan yang berlangsung cepat biasanya akan mengakibatkan kekacauan sementara karena orang akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
5. Perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau spiritual saja karena keduanya saling berkaitan.
Pembangunan di masyarakat desa dan arus modernisasi juga membawa dampak perubahan sosial budaya di masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat kita sering mendengar adanya lembaga – lembaga tradisional dan lembaga – lembaga modern. Sejalan dengan itu ada pula “pola ajar tradisonal” dan “pola ajar modern”. Pola ajar tradisional mengajarkan cara – cara atau hal – hal yang kuranglebih samadengan yang telah dipraktekan oleh generasi berikutnya (ayah, kakek, nenek, orang tua dan sebagainya).
Pola ajar modern, mengajarkan suatu sikap mental yang tidak  hanyamengenal masa lalu tetapi juga mamapu menanggulangi masalah – masalah baru termasuk masalah-masalah yang belum terpikirkan pada saat sekarang. Sikap modern cendurung mencari cara - cara hidup yang lebih baik, menguntungkan / efisien dan lebih makmur. Lembaga pesantren  dalam kaitannya dengan pembangunan /modernisasi pedesaan.
Pesantren sebagai lembaga kemasyarakatan tradisional yang ketinggalan di belakang dalam perkembangan. Meskipun pesantren telah atau sedang memasuki dunia modern baik dalam arti melakukan pembaharuan diri maupun tokoh-tokohnya memulai komunikasi yang intensi dengan lembaga-lembaga yang berpusat di kota-kota dan bahkan dengan luar negeri, namun pengliatan orang akan pesantren masih tetap sebagai lambang pedesaan yang pada umumnya masih sangat bersifat tradisional.

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan :
Desa merupakan kesatuan wilayah yang berpenduduk, berpenghasilan, berpemerintahan sendiri dan beralokasi jauh dari pusat pemerintahan tingkat pusat. Tipologi desa dilihat dari Sistem Ikatan Kekerabatan, hamparan wilayah, pola pemukiman, mata pencaharian, dan pola perkembangannya.
Masyarakat desa ditinjau dari geogarfis  merupakan suatu wujud kenampakkan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomi, politik, dan cultural yang saling berinteraksi antar unsure-unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah yang lain.
Masyarakat desa dalam tinjauan sosiologis berbentuk diferensiasi sosial, stratifikasi sosial, mobilitas sosial, interaksi sosial, solidaritas sosial, dan kontrol sosial. Sedangkan masyarakat desa dalam tinjauan antroplogi masyarakat desa masih memelihara nilai – nilai gotong royong, tolong – menolong, semangat kebersamaan, serta rasa kesatuan yang kuat masyarakat dan jika ada yang tidak melakukan atau menjaga hal tersebut akan mendapatkan sanksi dari masyarakat sekitar yang berupa celaan, gunjingan, dan lain - lain.
Pembangunan di masyarakat desa dan arus modernisasi juga membawa dampak perubahan sosial budaya di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bintarto. 1977. Pengantar Geografi Desa. Yogyakarta : UP. Spring.
Bintarto. 1997. Interaksi Desa Kota. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Drs. Khairuddin H. 1992.  Pembangunan Masyarakat Tinjauan Aspek Sosiologi,           Ekonomi dan Perencanaan. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.
Drs.Jefta Leibo, SU. 1995. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta : Andi Offset.
Sajogyo, Pujiwati Sajogyo. 1984. Sosiologi Pedesaan Jilid 2. Yogyakarta : UGM Press.
Susanto, Astrid S. 1977. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung : Binacipta.