KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa atas terselesaikannya pembuatan makalah ini dengan semaksimal
mungkin.
Penulisan makalah ini
bertujuan untuk menjelaskan salah satu pokok bahasan mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan, yang mengkaji masalah konstitusi. Penulisan makalah ini
lebih mendalami mengenai
peran konstitusi dalam perubahan negara,
untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan tahun
akademik 2012/2013.
Dalam penyelesaiaan makalah
ini, saya banyak mengalami kesulitan, yang disebabkan minimnya ilmu pengetahuan
yang saya dimiliki. Namun berkat bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya
makalah ini dapat diselesaikan walaupun masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
sebab itu, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaiaan makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah
ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, saya berharap
adanya kritik dan saran yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik dan
berdaya guna di masa yang akan datang.
Yogyakarta, 27 Oktober 2012
Penyusun
Dimas Indi Pramudita
BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Reformasi
menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi
penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya kepemimpinan yang berlanjut
kepada krisis sosial-politik, bobroknya managemen negara yang memunculkan KKN, hancurnya
nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum. Itu terjadi
karena ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 belum berjalan secara
demokratis,
yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga terlalu
menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara
negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian bergantung pada penafsiran siapa
yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan
kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959 – 1966)
dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang
berkuasa akan berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.
Keberadaan
UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah
mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada
hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak
sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan
bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan
konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara
yang otoritarian menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga
negara yang seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu
agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat
menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas
yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam
setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara
mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam
situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik
dan terpenting dari proses perubahan
atau pergantian konstitusi ini. Karena dari sini akan
dapat terlihat apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga
masyarakat, dan apakah telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia
kedepan. Wajah Indonesia yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai
keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan.
Dengan
melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah
rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan
sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah
mencerminkan kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat
berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi
menjadi monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.
- RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian
dan hakekat konstitusi negara?
2.
Apa saja macam
konstitusi?
3.
Apakah nilai
yang terkandung dalam konstitusi?
4. Apa saja pengaruh konstitusi dalam perubahan negara
Indonesia?
- TUJUAN
1.
Mengetahui
pengertian dan hakekat konstitusi negara.
2.
Mengetahui macam
konstitusi.
3.
Mengetahui nilai
yang terkandung dalam konstitusi.
4.
Mengetahui pengaruh
konstitusi dalam perubahan negara Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Hakekat
Konstitusi Negara
Istilah
dalam bahasa inggris constitution, bahasa Belanda
constitutie, bahasa Indonesia Undang-undang
dasar. Istilah constitution bagi
banyak sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu
keseluruhan peraturan-peraturan
baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara
bagaimana pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Pengertian konstitusi
itu dalam praktik ketatanegaraan pada umumnya dipahami secara, lebih luas daripada UUD atau sama dengan
pengertian Undang-Undang Dasar.
Kata konstitusi dapat mempunyai arti lebih luas daripada
pengertian Undang-Undang Dasar hanya meliputi
naskah tertulis saja dan disamping
itu masih terdapat konstitusi yang tidak tertulis, yang tidak tercakup dalam Undang-Undang Dasar (Kaelan,
2004:180). Para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 menganut arti
konstitusi lebih luas daripada
Undang-Undang Dasar karena penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan
bahwa :
Undang-Undang Dasar ialah hanya
sebagian dari hukumnya dasar negara itu. Undang-Undang Dasar adalah hukum yang
tertulis, sedang di sampingnya
Undang-Undang Dasar juga berlaku
hukum
dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan
dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara,
meskipun tidak tertulis.
Namun
dalam masa Republik
Indonesia Serikat, yaitu antara 27
Desember 1949 sampai 17
Agustus 1950, penyusun
kostitusi RIS menerjemahkan secara sempit istilah konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Hal ini terbukti
dengan disebutnya istilah konstitusi Republik
Indonesia Serikat bagi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (Totopandoyo,
1981: 25-26). Menurut E.C.S Wade dalam bukunya Constitusional Law (Miriam
Budiardjo, 2007, 96) Undang-Undang Dasar adalah naskah yang
memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu
negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
Ditinjau dari segi kekuasaan, Undang-Undang
Dasar dapat dipandang
sebagai lembaga atau kumpulan asas-asas
yang menetapkan bagaimana
kekuasaan itu dibagi antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Undang-Undang Dasar menentukan
bagaimana pusat-pusat kekuasaan itu bekerja sama dan menyesuaikan diri satu
sama lain. Undang-Undang Dasar merekam hubungan-hubungan
kekuasaan dalam suatu negara.
Dalam negara yang menganut asa
demokrasi konstitusional Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi
yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintahan sedemikian rupa sehingga penyelenggaran kekuasaan tidak
bersifat sewenang-wenang.
Dengan demikian, hak-hak warga negara diharapkan terlindungi.
Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam undang-undang dasar. Jadi, dalam
anggapan ini Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi
yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi
yang harus ditaati, tidak hanya oleh rakyat, tetapi oleh pemerintah serta
penguasa sekalipun.
Setiap undang-undang dasar memuat
ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut: (i) organisasi negara,
misalnya pembagian kekuasaan antar badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif;
dalam negara federal pembagian kekuasaan antar pemerintah federal dengan
pemerintah negara bagian; prosedur penyelesaian masalah pelanggaran yurisduksi
oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya, (ii) hak-hak asasi manusia, (iii) prosedur
mengubah undang-undang dasar, (iv) ada kalanya larangan untuk mengubah sifat
tetentu dari undang-undang dasar untuk menghindari terulangnya kembali hal-hal
yang baru saja diatasi, (v) memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi
negara (miriam Budiardjo, 2007: 101).
B.
Macam Konstitusi
Macam – macam
konstitusi Menurut CF. Strong konstitusi terdiri dari:
a). Konstitusi tertulis
(dokumentary constiutution / writen constitution) adalah aturan – aturan pokok
dasar negara , bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar
lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa didalam persekutuan hukum
negara.
b). Konstitusi tidak
tertulis / konvensi(nondokumentary constitution) adalah berupa kebiasaan
ketatanegaraan yang sering timbul.
c).
Konstitusi Formil yaitu konstitusi tertulis.
d). Konstitusi Materiil
yaitu dilihat dari segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi
rakyat dan negara.
Secara teoritis
konstitusi dibedakan menjadi:
a)
konstitusi politik
adalah berisi tentang norma- norma dalam penyelenggaraan negara, hubungan
rakyat dengan pemerintah, hubuyngan antar lembaga negara.
b)
Konstitusi sosial
adalah konstitusi yang mengandung cita – cita sosial bangsa, rumusan filosofis
negara, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang ingin
dikembangkan bangsa itu.
Bedasarkan sifat dari
konstitusi yaitu:
a) Flexible /atau luwes
apabila konstitusi / undang undang dasar memungkinkan untuk berubah sesuai
dengan perkembangan.
b) Rigid atau kaku
apabila konstitusi atau undang undang dasar sulit untuk diubah.
C.
Nilai-nilai dalam Konstitusi
Nilai
konstitusi yang dimaksud di sini adalah nilai (values) sebagai hasil penilaian
atas pelaksanaan norma-norma dalam suatu konstitusi dalam kenyataan praktik.
Sehubungan dengan hal itu, Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the
Value of Constitutions” membedakan 3 (tiga) macam nilai atau the values of the
constitution, yaitu (i) normative value; (ii) nominal value; dan (iii)
semantical value. Jika
berbicara mengenai nilai konstitusi, para sarjana hukum kita selalu mengutip
pendapat Karl Loewenstein mengenai tiga nilai normatif, nominal, dan semantik
ini. Menurut pandangan Karl Loewenstein, dalam setiap konstitusi selalu
terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori dan sifat
nyatanya sebagai praktik. Artinya, sebagai hukum tertinggi di dalam konstitusi
itu selalu terkandung nilai-nilai ideal sebagai das sollen yang tidak selalu
identik dengan dasein atau keadaan nyatanya di lapangan. Jika antara norma yang
terdapat dalam konsititusi yang bersifat mengikat itu dipahami,
diakui,diterima,dan dipatuhi oleh subjek hukum yang terikat padanya, maka
konstitusi itu dinamakan sebagai konstitusi yang mempunyai nilai normatif.
Kalaupun tidak seluruh isi konstitusi itu demikian, akan tetapi
setidak-tidaknya norma-norma tertentu yang terdapat di dalam konstitusi itu
apabila memang sungguh-sungguh ditaati dan berjalan sebagaimana mestinya dalam
kenyataan, maka norma-norma konstitusi dimaksud dapat dikatakan berlaku sebagai
konstitusi dalam arti normatif. Akan tetapi, apabila suatu undang-undang dasar,
sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyataannya tidak dipakai sama
sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengambilan keputusan dalam
penyelenggaraan kegiatan bernegara, maka konstitusi tersebut dapat dikatakan
sebagai konstitusi yang bernilai nominal. Manakala dalam kenyataannya
keseluruhan bagian atau isi undang-undang dasar itu memang tidak dipakai dalam
praktik, maka keseluruhan undang-undang dasar itu dapat disebut bernilai
nominal. Misalnya, norma dasar yang terdapat dalam konstitusi yang tertulis
(schreven constitutie) menentukan A, akan tetapi konstitusi yang dipraktikkan
justru sebaliknya yaitu B, sehingga apa yang tertulis secara expressis verbis
dalam konstitusi sama sekali hanya bernilai nominal saja.
Dapat
pula terjadi bahwa yang dipraktikkan itu hanya sebagian saja dari ketentuan
undang-undang dasar, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam
praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normative hanya sebagian,
sedangkan sebagian lainnya hanya bernilai nominal sebagai norma-norma hukum di
atas kertas “mati”. Sedangkan konstitusi yang bernilai semantik adalah
konstitusi yang norma-norma yang terkandung di dalamnya hanya dihargai di atas
kertas yang indah dan dijadikan jargon, semboyan, ataupun “gincu-gincu
ketatanegaraan” yang berfungsi sebagai pemanis dan sekaligus sebagai alat
pembenaran belaka. Dalam setiap pidato, norma-norma konstitusi itu selalu
dikutip dan dijadikan dasar pembenaran suatu kebijakan, tetapi isi kebijakan
itu sama sekali tidak sungguh-sungguh melaksanakan isi amanat norma yang
dikutip itu. Kebiasaan seperti ini lazim terjadi di banyak negara, terutama
jika di negara yang bersangkutan tersebut tidak tersedia mekanisme untuk
menilai konstitusionalitas kebijakan-kebijakan kenegaraan (state’s policies)
yang mungkin menyimpang dari amanat undang-undang dasar. Dengan demikian, dalam
praktik ketatanegaraan, baik bagian-bagian tertentu ataupun keseluruhan isi
undang-undang dasar itu, dapat bernilai semantik saja. Sementara itu,
pengertian-pengertian mengenai sifat konstitusi biasanya dikaitkan dengan
pembahasan tentang sifat-sifatnya yang lentur (fleksibel) atau kaku (rigid),
tertulis atau tidak tertulis, dan sifatnya yang formil atau materiil.
D.
Konstitusi-konstitusi yang Pernah Digunakan Indonesia
Suatu
undang-undang dasar juga tidak lagi mencerminkan konstelasi politik atau tidak
memenuhi harapan aspirasi rakyat dapat dibatalkan dan diganti dengan
undang-undang dasar baru. (Miriam Budiardjo (2007: 104) mengemukakan undang-undang
yang pernah berlaku di Indonesia
: (i) tahun 1945, UUD
Ri secara defacto hanya berlaku di Jawa, Sumatra, Madura, (ii) Tahun 1949
UUD RI swcara defacto berlaku di seluruh Indonesia kecuali Irian Barat, (iii)
Tahun 1959 UUD RI 45 dengan demokrasi terpimpin, disusul demokrasi Pancasila,
mulai 1963 berlaku di seluruh Indonesia termasuk Irian Barat. Apabila ditinjau
dari sudut perkembangan secara
demokrasi Repoublik Indonesia,
Miriam Budiardjo (2007: 105) membagi
dalam tiga tahap, yaitu (i) masa 1945 - 1959 sebagai RI ke 1 (demokrasi
parlementer) yang didasari tiga undang-undang dasar, yaitu UUD 1945, UUD 1949, UUD
1950, (ii) masa 1959 – 1965 sebagai republik ke 2 (demokrasi terpimpin) yang
didasari UUD 1945, (iii) masa 1965 – sekarang sebagai republik Indonesia ke 3
(demokrasi Pancasila yang didasari UUD 1945). Pemikiran ini disampaikan pada
tahun 1970an jauh hari sebelum jatuhnya rezim Soeharto, sehingga jika kita
tinjau saat ini dapat ditambahkan
masa republik ke 3 yaitu periode antara tahun 1965 dan 1998. Kemudian tahun 1998 sampai saat
ini dapat ditambahkan masa republik ke 4 dengan menggunakan UUD 45 pasca amandemen (
demokrasi masa transisi)
Republik
pertama:
UUD
RI yang pertama adalah UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945,
berlaku secara nasional sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. Naskah
undang-undang dasar pertama tersebut disahkan oleh Panitia Persiapan
kemerdekaan Indonesia (PPKI). Penyusunan naskah Rancangan UUD 1945 dimulai dari
pembentuka BPUPKI yang dilantik pada tanggal 28 Mei 1945. Pembentukan badan ini
merupakan realisasi janji pemerintah Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada
Indonesia kelak kemudian hari. BPUPKI mengadakan sidang-sidang yang dapat
dikelompokkan menjadi 2 masa persidangan, sidang pertama tanggal 29 mei 1945 –
1 Juni 1945 dan masa persidangan kedua tanggal
10 Juli – 17 Juli
1945. Rancangan UUD meliputi (i) pernyataan Indonesia merdeka, (ii) pembukaan
UUD, (iii) UUD yang terdiri atas pasal-pasal (Noor Ms Bakry, 1994: 23). Dengan
selesainya tugas BPUPKI
pemerintah Jepang membentuk PPKI untuk mempersiapkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan kemerdekaan Indonesia. Pada
sidang 18 Agustus PPKI berhasil mengesahkan naskah UUD 45 dari naskah RUUD
hasil kerja BPUPKI dengan beberapa perubahan. Perubahan inti terutama tentang
dasar negara yang semula berbunyi Ketuhanan
dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sebagaimana termuat dalam
piagam Jakarta diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949
berlakulah Undang-Undang
Dasar 1945. Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar ini system oemerintahan Indonesia bersifat
presidensiil. Lebih lanjut, mulai bulan November 195, berdasarkan maklumat
Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, Pengumuman Badan Pekerja 11
November 1945, dan Maklumat pemerintah tanggal 14 Nodember 1945, dan Maklumat
Pemerintah tanggal 14 November 1945, tanggung jawab politik terletak di tangan
para menteri. Keadaan ini merupakan awal
dari suatu sistem pemerintahan parlementer yang praktis dipertahankan sampai
tahun 1959 pada masa Undang-Undang Dasar
1945 dinyatakan berlaku kembali, mulai Dekrit Presiden. Jadi, mulai 14 November
1945 sampai 27 Desember1949 sistem pemerintahan yang diselenggarakan berlainan
dengan Undang-Undang
Dasar 1945 (Miriam Budiardjo, 2007: 115-116).
Republik Kedua : Konstitusi RIS (27 Desember 1945-17
Agustus 1950)
Dalam
kondisi Indonesia menyatakan kemerdekaan, Belanda berkeinginan untuk berkuasa
lagi di Indonesia, yaitu melalui Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada
tahun 1948. Karena mendapat perlawanan sengit bangsa Indonesia, Belanda gagal
menguasai Indonesia. Pada tahun 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag, Belanda. Salah satu hasil KMB itu adalah pendirian Republik Indonesia
Serikat. Rancangan naskah Konstitusi Republik Indonesia Serikat juga diputuskan
dalam KMB dan disepakati mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berdirinya negara Repulik Indonesia Serikat
(RIS), negara Ripublik Indonesia (RI) secara hukum masih tetap ada. negara RI
berubah status menjadi salah satu negara bagian dari RIS. Undang-Undang Dasar
1945 yang sebelumnya berlaku untuk
seluruh wilayah Indonesia mulai tanggal 27 Desember 1949 hanya berlaku dalam
wilayah Negara bagian Republik Indonesia saja.
Negara RIS dengan Konstitusi RIS-nya berlangsung
sangat pendek karena memang tidak sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan
yang menghendaki negara kesatuan, tidak sesuai dengan jiwa proklamasi
kemerdekaan menghendaki negara kesatuan, tidak menginginkan negara dalam
negara, sehingga beberapa negara bagian meleburkan diri dengan RI. semangat
tersebut Nampak dengan adanya ketetapan Presiden RIS tentang penggabungan
negara-negara bagian ke dalam Republik Indonesia. pada tanggal 19 Mei 1950
disusunlah Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS yang sekaligus mewakili
negara bagian Indonesia Timur menyatakan menyetujui membentuk negara kesatuan.
kemudian terbentuklah negara kesatuan dengan berdasarkan Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 tanggal 17 Agustus 1950 (Noor Ms Bakry 2001: 34).
Republik IndonesiabKetiga: UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959)
Negara
kesatuan yang merupakan perubahan ketatanegaraan dari negara serikat itu
menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang didalam pembukaannya memuat
dasar negara Pancasila, tetapi pelaksanaan system pemerintahanya menggunakan kabinet
parlementer. Dengan demikian, sistem kabinet
parlementer tidak cocok dengan jiwa Pancasila. Akibatnya mudah bergonta-ganti kabinet, sehingga
stabilitas nasional menjadi terganggu. dibawah UUDS 1950 sebagai realisasi dari
pasal 134, pemilihan umum berhasil dilaksanakan, pada tanggal 29 September 1955.
Konstituante sebagai Dewan Penyusunan Undangan-Undang dasar dalam sidangnya sejak
tahun 1956 sampai tahun 1959 belum mendapatkan keberhasilan dalam membuat
Undang-Undang Dasar baru karena kesulitan dalam tercapainya kesepakatan.
Presiden Soekarno pun mencari jalan keluarnya dengan mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, yang berisikan pernyataan sebagai berikut :
- menetapkan pembubaran Konstituante,
- menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi
terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit, dan tidak berlakunya lagi UUDS
1950,
- menetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya
pembentukan MPRS dan DPAS.
Melalui Dekrit ini terjadi perubahan katatanegaraan
Indonesia, yaitu naskah UUD 1945 menjadi
berlaku kembali sebagai hukum tertinggi dalam negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Republik Indonesia Keempat: UUD 1945 Orde Lama
(1959-1965)
Ciri-ciri
periode ini ialah adanya dominasi yang sangat kuat dari presiden, terbatasnya
peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan
ABRI sebagai unsur politik. UUD 1945 memberi kesempatan bagi seorang presiden
untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. akan tetapiketetapan MPRS
No. III/MPRS/1963 yang mengangkat Soekarno
sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima
tahun ini. Masih banyak lagi penyimpangan terhadap UUD 1945.
Republik Kelima: UUD 1945 Orde Baru (1966-1998)
pergeseran
kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto menimbulkan perubahan orde dari orde lama
ke orde baru. implementasi UUD 1945 mengalami beberapa koreksi. Rakyat pun
dapat merasakan adanya peningkatan kondisi di berbagai bidang kehidupan melalui
srangkaian program yang dituangkan dalam GBHN dan repelita. Namun dalam
perjalanannya, orde baru berubah wajah menjadi kekuasaan yang otoriter.
kekuasaan tanpa control akibatnya pemerintahan orde baru cenderung melakukan
penyimpangan diberbagai aspek kehidupan. Dengan dipelopori oleh mahasiswa,
rakyat menuntut reformasi di segala bidang,. Akhirnya rezim orde baru tumbang
dengan mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
Republik Keenam: UUD 1945 Diamandemen (1998-sekarang)
Amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan oelh bangsa
Indonesia sejak tahun 1999, di mana amandemen yang peretamadilakukan dengan memberikan tambahan dan perubahan
terhadap 9 pasal UUD 1945 dan berlangsung seterusnya.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Istilah
constitution bagi
banyak sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu
keseluruhan peraturan-peraturan
baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara
bagaimana pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Konstitusi-konstitusi tersebut memiliki
karakteristik tertentu sehingga dapat dibeda-bedakan. Tiap konstitusi memiliki
berbagai nilai didalamnya. konstitusi yang berubah maka akan mengubah pula
struktur dalam negara tersebut seperti di Indonesia yang mengalami
perubahan-perubahan konstitusi yang kemudian berpengaruh terhadap struktur
negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiharjo, Miriam. 1989. Dasar-Dasar
Ilmu Politik..
Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
Soenarso, dkk. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY Press
http://www.prince-mienu.blogspot.com (diakses pada 30 Oktober 2012)