Rabu, 26 Maret 2014

"KONSEP GENDER DALAM ISLAM"

0


A.PENGERTIAN
·         Secara etimologis, kata gender berasal dari bahasa Inggris yang artinya ”jenis kelamin” (John M.Hassan Shadily, 2002:265).
·         Dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary , Gender berarti penggolongan menurut jenis kelamin (Peter Salim,  1989:771).
·          Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi tingkah laku’ (Victoria Neufeld, 1984:561).
·         Gender diartikan sebagai penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis kelamin serta ketiadaan jenis kelamin atau kenetralan (Concise Oxford Dictionary Of Current English, 1990).
·         Secara terminologis , gender diartikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Hillary M.Lips)
·         Gender adalah suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif sebagai akibatnya mereka akan menjadi laki-laki dan perempuan (H.T .Wilson).
·         Gender adalah sebuah konsep  kultur yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Women’s Studies Encyclopedia).
B. PERBEDAAN ANTARA GENDER DAN SEX
*      Sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karaktristik biologis lainnya.
Misalnya:
Ø  Laki-laki memiliki penis, jakala (kalamenjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki vagina, payudara, rahim, dan alat-alat reproduksi.
*      Gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) dan feminimitas (feminility) s eseorang. Gender diartikan sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi dan secara sosial maupun kultural.
              Misalnya:
Ø  Perempuan  dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap jantan, kuat, rasional, perkasa.Begitu juga dengan peranan perempuan dalam rumah tangga adalah menjalankan tugas-tugas domestic seperti memasak, menyapu, dan sebagainya. Sementara laki-laki berperan sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga.

*      Gender memiliki perbedaan-perbedaan bentuk antara satu masyarakat dengan masyarakat lain karena norma-norma, adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat berbeda-beda.
Misalnya:
Ø  Di Jawa , profesi tukang batu dianggap tidak pantas dilakukan oleh kaum perempuan, tetapi di wilayah Bali perempuan biasa menjadi tukang batu atau tukang cat.

*      Gender mengalami pergeseran dari waktu ke waktu.
Misalnya:
Ø  Emansipasi Wanita.
C. PERMASALAHAN GENDER
1.      Marginalisasi  kaum perempuan atau peminggiran kaum perempuan dari peranan tertentu di masyarakat, terutama dalam bidang pekerjaan.
ü  Misalnya : Pekerja rumah tangga adalah untuk  perempuan , sedang profesi sopir yang gajinya lebih besar adalah untuk laki-laki.

2.      Subordinasi yaitu pementingan peran laki-laki daripada perempuan. Perempuan  ditempatkan sebagai “the second level” di bawah laki-laki.
ü  Misalnya : Di dalam rumah tangga, perempuan di bawah kendali suami.
3.      Pembentukan stereotipe melalui pelabelan negatif yang dilekatkan kepada kaum perempuan.
ü  Misalnya : Stereotipe yang berkenaan bahwa perempuan yang bersolek adalah untuk memancing perhatian laki-laki. Maka setiap ada kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan perempuanlah yang disalahkan oleh masyarakat.

4.      Kekerasan Terhadap Perempuan
5.      Beban Kerja Kaum Perempuan
ü  Misalnya : Semua pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab perempuan, tanpa campur tangan laki-laki.

D. Munculnya Ketidakadilan Gender
1.      Budaya Patriarkhi yang sudah mengakar
Patriarkhi  yang  berpijak dari konsep superioritas laki-laki dewasa atas perempuan dan anak-anak, sudah mengakar dalam keyakinan bahkan menjadi suatu ideologi yang sulit untuk diubah , baik dalam lingkunagn keluarga, masyarakat, hingga tingkat negara yang bersifat global.
ü  Misalnya:
ü  Pria menghabiskan waktu di luar rumah, sementara para perempuan diharuskan tinggal di dalam rumah, merawat anak, mengelola rumah tangga, memperhatikan pelayanan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga (Leila Ahmed, 2000:28 ).
ü  Laki-laki sebagai Patriarch menguasai anggota keluarga, harta-harta, sumber ekonomi , serta posisi pengambil keputusan (Rosaline A. Sydie, 1999).

Konstruk budaya patriarkhi yang mapan secara universal dan berlangsung selama berabad-abad tidak lagi dipandang sebagai ketimpangan, bahkan diklaim sebagai “fakta ilmiah” (Siti Ruhaini, 2002:11). Pada mulanya kekuasaan ini ditegakakan berdasarkan kekuatan fisik, selanjutnya laki-laki mengkonstruksikan kekuasaan tersebut dalam sistem relasi dan interaksi kolektif (Rosaline A.Sydie, 1999).

2.      Penafsiran yang keliru tentang teks-teks Alquran
Banyak doktrin keagamaan yang bias gender karena teks-teks alquran dipahami secara tekstual. Argumen-argumen tafsir atas ayat sosiologis yang bersifat kontekstual dipatenkan menjadi ayat-ayat teologis yang bersifat abs0lute. Akibatnya, tidak ada lagi ruang untuk melakukan interpretasi ayat.
Terkait dengan relasi antara laki-laki dn perempuan dalam gerak  kehidupan, baik dalam ranah publik maupun domestik , ada kesenjangan antara idealitas agama dengan realitas sosial.
ü  Misalnya: Dalam Q.S. An-nisa:34, merupakan ayat yang ditujukan kepada laki-laki muslim untuk tidak berbuat aniaya terhadap isteri-isteri mereka. Namun dalam perjalanan sejarah, ayat ini justru diarahkan pada kaum perempuan untuk tunduk dan patuh kepada suami mereka.

Alquran harus dipahami dan alquran menetapkan dasar pedoman moral yang universal. Alquran bukan yang membatasi wanita, melainkan penafsiran alquran yang telah dianggap lebih penting dari alquran itu sendiri (Amina Wadud, 2001:15).

3.      Bias Gender dalam Pemaknan Hadits
Dijumpai pada hadits-hadits “misoginis” (yang bernad merendahkan martabat kaum wanita) sering dijadikan rujukan oleh para ulama, sehingga hadits tersebut diterima oleh banyak umat islam danb menjdi pandangan budaya yang mempengaruhi pola relasi gender.Literature islam yang membicarakan pandangan mengenai perempuan, terkadang menggunakan hadist sebagai dasar pijakan tanpa menyebutkan sanad dan rowinya.oleh karena itu, diperlukan kontekstualisasi pemahaman hadist yaitu usaha yang dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan kehidupan dengan teks hadist atau sebaliknya yang dilakukan dengan dialog dan salaing mengisi antara keduanya (Hamim Ilyas, 2002: 171.) dari kajian tersebut akan diketahui, bagaimana sebenarnya posisi perempuan dalam hadist atau sunnah nabi tersebut. D. Gender dalam islam

1. kedudukan perempuam sebelum dan sesudah datangnya islam
a). pembunuhan bayi perempuan
salah satu praktik yang dilakukan oleh masyarakatArab pra islam yang sangat tidak menghargai eksistensi perempuan adalah tindakan mengubur bayi atau anak  perempuan mereka hidup-hidup. Hal ini karena beberapa factor antara lain, ketakutan akan anak perempuan yang hanya akan menambah beban ekonomi, terlebih anak perempuan tidak bias dilibatkan dalam peperangan, belum lagi kalau nanti anak perempuan ditawan dan di jadikan budak oleh musuh, hal ini hanya akan membuat malu keluarga dan menimbulkan kebanggaan bagi para musuh (asghar ali engineer, 1994:28). Di kalangan masyarakat romawi, membuang dan mengubur anak perempuan dikondisikan dalam hokum: seorang ayah harus membesarkan seluruh anak laki-laki dan hanya satu saja anak perempuan (Leila ahmed, 2000:38).
Islam secara tegas tidak menyetujui tindakan yang menyebabkan teraniayanya salah satu pihak. Seperti yang tertulis dalam surat an-nahl (16):58-59, az-zukruf(43):17, at takwir (81):7-9, juga ditegaskan di dalam surat al- an’am (6):151;
Katakanlah: “marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu memperseklutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, kami akan member rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang Nampak diantaranyamaupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh melainkan dengan sesuatu sebab yang benar”. Demikian yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
b). Tidak adanya pembatasan jumlah isteri
seorang anggota suku Quraisy rata-rata mengawini empat, lima, enamatau bahkan sepuluh isteri. Para memuka dan pemimpin mempunyai banyak isteri untuk menjalin hubungan dengan keluarga-keluarga lainnya. System perkawinan tersebut tidak menggambarkan keadilan dan kesetaraan. Perempuan tidak mendapat hak-haknya secara adil dan manusiawi, sementara laki-laki atau suami menanamkan benih ketundukan, kepasrahan, ketaatan, dan kerelaan para isteri untuk menjalankan tugasnya melayani suami dan merawat anak.
Kondisi tersebut berjalan selama bertahun-tahun tanpa ada hokum (wahyu) yang mengaturnya. Sampai turun surat an-nisa ayat 3 yang selain membatasi  jumlah perempuan yang dinikahi, juga menyarankan untuk bias berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Bila kemungkinan berbuat adil tidak diwujudkan maka alquran menyarankan untuk memperisteri seorang saja.
c). perkawinan dengan system diwariskan
dalam system arab pra islam perempun tidak hanya diperbudak, dan diperjualbelikan, tetapi juga diwariskan. Apabila ada seorang laki-laki meninggal dunia, putranya yang lebih tua atau anggota keluarganya yang lain mempunyai hak untuk mengawini janda-jandanya tanpa memberikan mas kawin. Itupun bila mereka suka, bila tidak boleh mengawinkannya dengan orang lain atau melarangnya kawin sama sekali. Tindaka tersebut benar-benar memposisikan perempuan sebagai benda mati yang tidak memiliki hak untuk memilih. Selain merendahkan derajat perempuan, juga akan merusak system kekerabatan akibat percampuran hubungan darah yang begitu dekat.
Penjelasan an-nisa, 4:23-24  menjelaskan pelarangn terhadap sejumlah wanita yang dianggap sebagai mukhrim, atau masih memiliki ikatan pertalian darah, juga kewajiban oleh laki-laki terhadap perempuan yang dinikahinya. Hal tersebut mengarah pada terwujudnya norma-norma yang pasti serta member status yang jelas pada perempuan.
d). perkawinan dalam system kontrak
perkawinan ini biasa disebut dengan perkawinan mut’ah. Merupakan perkawinan sementara yang waktunya sudah ditentukan, dan dengan sendirinya akan dianggap bubar bila waktu yang disepakati telah habis. Konteks perkawinan yang seperti  ini pada dasarnya jauh dari tujuan perkawinan yang hakiki yaitu terwujudnya misaqan galidan atau ikatan yang kuat untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah.
 Hal ini kemudian memunculkan suatu hukum yang tidak tertulis bahwa nasib dan keberlangsungan hidup wanita sangat ditentukan laki-laki. Menurut qasim amin, bahwa perempuan selalu berada di bawah lindungan laki-laki, yaitu ayahnya sebelum dia menikah, suaminya stelah dia menikah, puteranya saat suaminya meninggal, saudara atau kerabat laki-lakinya bila dia tidak memiliki putera.

e)  Posisi perempuan dalam Perceraian
            Dalam kasus perceraian, perempuan juga tidak mendapat tempat yang setara sebagaimana laki-laki. Pada masa Jahiliyah, perempuan yang dicerai tidak mendapatkan apapun sebagai nafkahnya. Anak akan menjadi milik ayahnya hanya didasarkan pada klaim bahwa anak tersebut adalah miliknya.  Ibnu Zaid,  salah seorang sahabat nabi mengatakan,  bahwa pada masa itu,  laki-laki mempunyai hak mutlak dalam hal perceraian,  seorang laki-laki bisa menceraikan istrinya seratus kali dan kemudian rujuk lagi (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jurair at-Tabari, 1992:547).
            Bentuk-bentuk perceraian lain yang sangat menyudutkan posisi perempuan diantaranya :
1)      Zihar, merupakan bentuk perceraian dimana suami yang mengatakan kepada istrinya bahwa dia seperti punggung, rahim, paha atau organ seksual ibunya. Ini sama saja dengan mempermalukan istri seperti ibunya (At-Tabari, t.t.:538-600). Hal tersebut sudah menjadi adat kebiasaan bangsa Arab Jahiliyah bahwa bila suami berkata demikian, maka istrinya itu haram baginya selama-lamanya. Namun setelah datangnya Islam, maka yang haram untuk selama-lamanya dihapuskan, dan istri kembali halal baginya setelah suami tersebut membayar kafarat (denda) (lihat di Qs, al-Mujaddalah, 58:2-3 dan al-Ahzab, 33:4).
2)       Illa’, adalah bentuk perceraian dimana seorang suami mengucapkan sumpah akan meninggalkan istrinya dalam jangka waktu tertentu. Dalam rentang waktu tersebut, suami tidak mendekati istri, sebagai hukuman terhadap si istri. Dengan sumpah ini seorang istri menderita, karena tidak disetubuhi, juga tidak diceraikan (Qs, al-Baqarah, 2:226). Baru kemudian dijelaskan dalam ayat al-Quran bahwa suami diberi waktu selama 4 bulan untuk kemudian memilih kembali kepada istri dengan membayar denda, atau menceraikannya (Qs, al-Baqarah (2) : 226-227)..
3)      Al-adl, secara harfiah mepunyai arti ”memaksa perempuan untuk tidak kawin”. Seorang laki-laki yang telah mengawini seorang perempuan merdeka, dan tidak tahan dengannya, dapat menceraikannya dengan syarat istrinya tersebut tidak akan kawin lagi dengan orang lain tanpa izinnya (Asghar Ali Engineer, 1999:42). Masih menurut Engineer, bahwa suami tersebut bisa memilih, mengizinkannya menikah atau sebaliknya melarang mantan istrinya tersebut untuk kawin lagi. Secara tegas, Al-Qur’an melarang praktik tersebut. Disebutkan dalam surat al-Baqarah, 2:232. Yang artinya : ”Dan ketika kamu menceraikan perempuan dan telah berakhir massa iddahnya, maka janganlah kamu halangi mereka untuk kawin lagi dengan calon suaminya, apabila diantara mereka sendiri saling menyetujui dengan cara yang sah…”

            Berikutnya tentang masa Iddah, yaitu masa tunggu perempuan setelah cerai atau ditinggal mati suaminya. Ada perbedaan pendapat tentang ada atau tidaknya masa Iddah pada zaman Jahiliyah. Sebagian peneliti mengatakan masa Iddah itu tidak ada. Mereka berpendapat bahwa pada masa itu seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, sedang ia dalam kondisi hamil, boleh kawin lagi, tinggal bersama dan melahirkan di rumah suaminya yang baru. Anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak suami yang baru, meskipun sebenarnya adalah hasil hubungan dengan suami terdahulu. Jadi Islamlah yang mulai menetapkan masa Iddah (Asghar Ali Engineer, 1999:42). Selanjutnya, sementara yang berpendapat bahwa masa Iddah sudah ada sejak dahulu, menyebutkan contoh bahwa pada masa Jahiliyah, Iddah seorang wanita yang ditinggal mati suami adalah satu tahun. Seorang janda biasanya dikurung di sebuah kamar kecil, dilarang menyentuh sesuatu, tidak boleh menggunakan celak mata atau menyisir rambut sampai satu tahun tersebut berlalu. Secara alamiah, kondisi mereka sangat buruk.  Namun Islam datang, menghapus dan mengurangi masa Iddah menjadi 4 bulan sepuluh hari, atau sampai melahirkan bila perempuan yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil (Qs, al-Baqarah, 2:228&234 dan at-Thalaq,  65: 1 &4).


2.Kesetaran Gender Dalam Islam    
  Dalam Al-Qur’an ada beberapa isu kontroversi yang berkaitan dengan konsep relasi gender ,antara lain:asal usul penciptaan perempuan ,konsep kewarisan, persaksian,poligamihak=hak reproduksi,talak perempuan serta peran-peran perem[uan dalam publik.
        Dalam (QS an-Nisa 4:34)merupakan salah satu ayat yang paling sering dijadikan legitimasi adanya perbedaan status maupun peran antara laki-laki dan perempuan,bahkan sebagai terjadinya legitimasi terjadinya tindakan kekerasan terhadap istri.Dengan diturukannya Al-Qur’AN Sebagai pemberi rasa keadilan ,rasa aman,dan prinsip=prinsip kesetaraan yang sering tertuang dalam ayat-ayatNya ,rasanya sulit dipahami bahwa Al-Qur’an member pernyataan sebalikbya”Kaum laki-laki adalah Qawwamun”(pemimpin)bagi kaum perempuan ,oleh karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian yang lain (perempuan),dan karena mereka laki-laki telah menahkahkan sebagian dari hartanya.
         Pra ahli tafsir menyatakan bahwa Qawwan berarti pemimpin ,penanggung jawab ,pendidik,dan sebaganya.Kategori inisebenarnya tidak bermasalah panjang ditempatkan secara adil tidak didasari oleh pandangan yang  diskriminatif.Nmun secara umum,para ahli tafsir berpendapat bahwa superiotas laki-laki tersebut adalah mutlak dicipatakan Tuhan dan tidak bias dirubah.Begitup juga kelebihan laki-lakiatas perempuan adalah mutlak sebagaimana di nukil dari kitab tafsir Ar-kazi,Husein Muhammad menyatakan bahwa laki-laki mempunyai kelebihan akal,pikira,dan kemampun fisik.
Artinya:akal dan kecerdasan laki-laki melebihi perermpuan dalam pekerjaan fisik laki-laki bias mengerjakan lebih sempurna.
Dalam ayatnya,Al-Qur’an dengan sangat jelas menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan,kecuali keTaQwaannya:

“Hai manusia,kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan,dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling ,mengenal.Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling Taqwa. Konsep kesetaran gender pada dasarnya juga sudah banyak disebutkan beberapa ayatNya,namun karena kuatnya budaaya patriarkhis,maka yang muncul di permukaan adalah urgensi suparioritas laki-laki atas perempuan.

0 Komentar:

Posting Komentar

cukup dengan saran saya akan sangat terkesan, :)