A.PENGERTIAN
·
Secara etimologis, kata gender berasal
dari bahasa Inggris yang artinya ”jenis kelamin” (John M.Hassan Shadily,
2002:265).
·
Dalam The Contemporary English
Indonesian Dictionary , Gender berarti penggolongan menurut jenis kelamin
(Peter Salim, 1989:771).
·
Dalam Webster’s New World Dictionary, gender
diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi tingkah laku’ (Victoria Neufeld, 1984:561).
·
Gender diartikan sebagai penggolongan
gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain yang berkaitan
dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis kelamin serta
ketiadaan jenis kelamin atau kenetralan (Concise Oxford Dictionary Of Current
English, 1990).
·
Secara terminologis , gender diartikan
sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Hillary
M.Lips)
·
Gender adalah suatu dasar untuk
menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan
kehidupan kolektif sebagai akibatnya mereka akan menjadi laki-laki dan
perempuan (H.T .Wilson).
·
Gender adalah sebuah konsep kultur yang berupaya membuat perbedaan dalam
hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Women’s Studies Encyclopedia).
B. PERBEDAAN ANTARA GENDER DAN SEX
Sex digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis yang meliputi perbedaan
komposisi kimia dan hormone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan
karaktristik biologis lainnya.
Misalnya:
Ø Laki-laki
memiliki penis, jakala (kalamenjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan
perempuan memiliki vagina, payudara, rahim, dan alat-alat reproduksi.
Gender lebih menekankan pada aspek
maskulinitas (masculinity) dan feminimitas (feminility) s eseorang. Gender
diartikan sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi dan secara sosial maupun kultural.
Misalnya:
Ø Perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau
keibuan. Sementara laki-laki dianggap jantan, kuat, rasional, perkasa.Begitu
juga dengan peranan
perempuan dalam rumah tangga adalah menjalankan tugas-tugas domestic seperti
memasak, menyapu, dan sebagainya. Sementara laki-laki berperan sebagai pencari
nafkah dan kepala keluarga.
Gender
memiliki perbedaan-perbedaan bentuk antara satu masyarakat dengan masyarakat
lain karena norma-norma, adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat
berbeda-beda.
Misalnya:
Ø Di Jawa , profesi tukang batu dianggap tidak pantas
dilakukan oleh kaum perempuan, tetapi di wilayah Bali perempuan biasa menjadi
tukang batu atau tukang cat.
Gender
mengalami pergeseran dari waktu ke waktu.
Misalnya:
Ø Emansipasi Wanita.
C. PERMASALAHAN GENDER
1. Marginalisasi kaum
perempuan atau peminggiran kaum perempuan dari peranan tertentu di masyarakat,
terutama dalam bidang pekerjaan.
ü
Misalnya
: Pekerja rumah tangga adalah untuk
perempuan , sedang profesi sopir yang gajinya lebih besar adalah untuk
laki-laki.
2.
Subordinasi
yaitu pementingan peran laki-laki daripada perempuan. Perempuan ditempatkan sebagai “the second level” di
bawah laki-laki.
ü
Misalnya
: Di dalam rumah tangga, perempuan di bawah kendali suami.
3.
Pembentukan
stereotipe melalui pelabelan negatif yang dilekatkan kepada kaum perempuan.
ü
Misalnya
: Stereotipe yang berkenaan bahwa perempuan yang bersolek adalah untuk
memancing perhatian laki-laki. Maka setiap ada kasus pelecehan seksual atau
pemerkosaan perempuanlah yang disalahkan oleh masyarakat.
4.
Kekerasan
Terhadap Perempuan
5.
Beban
Kerja Kaum Perempuan
ü
Misalnya
: Semua pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab perempuan, tanpa campur
tangan laki-laki.
D. Munculnya Ketidakadilan Gender
1.
Budaya
Patriarkhi yang sudah mengakar
Patriarkhi
yang berpijak dari konsep
superioritas laki-laki dewasa atas perempuan dan anak-anak, sudah mengakar
dalam keyakinan bahkan menjadi suatu ideologi yang sulit untuk diubah , baik
dalam lingkunagn keluarga, masyarakat, hingga tingkat negara yang bersifat
global.
ü
Misalnya:
ü
Pria
menghabiskan waktu di luar rumah, sementara para perempuan diharuskan tinggal
di dalam rumah, merawat anak, mengelola rumah tangga, memperhatikan pelayanan
dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga (Leila Ahmed, 2000:28 ).
ü
Laki-laki
sebagai Patriarch menguasai anggota keluarga, harta-harta, sumber ekonomi ,
serta posisi pengambil keputusan (Rosaline A. Sydie, 1999).
Konstruk budaya
patriarkhi yang mapan secara universal dan berlangsung selama berabad-abad
tidak lagi dipandang sebagai ketimpangan, bahkan diklaim sebagai “fakta ilmiah”
(Siti Ruhaini, 2002:11). Pada mulanya kekuasaan ini ditegakakan berdasarkan
kekuatan fisik, selanjutnya laki-laki mengkonstruksikan kekuasaan tersebut
dalam sistem relasi dan interaksi kolektif (Rosaline A.Sydie, 1999).
2.
Penafsiran
yang keliru tentang teks-teks Alquran
Banyak doktrin keagamaan yang bias gender karena
teks-teks alquran dipahami secara tekstual. Argumen-argumen tafsir atas ayat
sosiologis yang bersifat kontekstual dipatenkan menjadi ayat-ayat teologis yang
bersifat abs0lute. Akibatnya, tidak ada lagi ruang untuk melakukan interpretasi
ayat.
Terkait dengan relasi antara laki-laki dn perempuan dalam
gerak kehidupan, baik dalam ranah publik
maupun domestik , ada kesenjangan antara idealitas agama dengan realitas
sosial.
ü
Misalnya:
Dalam Q.S. An-nisa:34, merupakan ayat yang ditujukan kepada laki-laki muslim
untuk tidak berbuat aniaya terhadap isteri-isteri mereka. Namun dalam
perjalanan sejarah, ayat ini justru diarahkan pada kaum perempuan untuk tunduk
dan patuh kepada suami mereka.
Alquran harus dipahami dan alquran menetapkan dasar pedoman moral yang
universal. Alquran bukan yang membatasi wanita, melainkan penafsiran alquran
yang telah dianggap lebih penting dari alquran itu sendiri (Amina Wadud,
2001:15).
3. Bias Gender dalam Pemaknan Hadits
Dijumpai pada hadits-hadits “misoginis” (yang bernad merendahkan martabat
kaum wanita) sering dijadikan rujukan oleh para ulama, sehingga hadits tersebut
diterima oleh banyak umat islam danb menjdi pandangan budaya yang mempengaruhi
pola relasi gender.Literature islam yang membicarakan pandangan mengenai
perempuan, terkadang menggunakan hadist sebagai dasar pijakan tanpa menyebutkan
sanad dan rowinya.oleh karena itu, diperlukan kontekstualisasi pemahaman hadist
yaitu usaha yang dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan kehidupan dengan
teks hadist atau sebaliknya yang dilakukan dengan dialog dan salaing mengisi
antara keduanya (Hamim Ilyas, 2002: 171.) dari kajian tersebut akan diketahui,
bagaimana sebenarnya posisi perempuan dalam hadist atau sunnah nabi tersebut.
D.
Gender dalam islam
1. kedudukan perempuam
sebelum dan sesudah datangnya islam
a). pembunuhan bayi
perempuan
salah satu praktik yang
dilakukan oleh masyarakatArab pra islam yang sangat tidak menghargai eksistensi
perempuan adalah tindakan mengubur bayi atau anak perempuan mereka hidup-hidup. Hal ini karena
beberapa factor antara lain, ketakutan akan anak perempuan yang hanya akan
menambah beban ekonomi, terlebih anak perempuan tidak bias dilibatkan dalam
peperangan, belum lagi kalau nanti anak perempuan ditawan dan di jadikan budak
oleh musuh, hal ini hanya akan membuat malu keluarga dan menimbulkan kebanggaan
bagi para musuh (asghar ali engineer, 1994:28). Di kalangan masyarakat romawi,
membuang dan mengubur anak perempuan dikondisikan dalam hokum: seorang ayah
harus membesarkan seluruh anak laki-laki dan hanya satu saja anak perempuan
(Leila ahmed, 2000:38).
Islam secara tegas
tidak menyetujui tindakan yang menyebabkan teraniayanya salah satu pihak.
Seperti yang tertulis dalam surat an-nahl (16):58-59, az-zukruf(43):17, at
takwir (81):7-9, juga ditegaskan di dalam surat al- an’am (6):151;
Katakanlah: “marilah
kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu
memperseklutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu
bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, kami
akan member rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang Nampak diantaranyamaupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh melainkan dengan sesuatu sebab yang
benar”. Demikian yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
b). Tidak adanya
pembatasan jumlah isteri
seorang anggota suku
Quraisy rata-rata mengawini empat, lima, enamatau bahkan sepuluh isteri. Para
memuka dan pemimpin mempunyai banyak isteri untuk menjalin hubungan dengan
keluarga-keluarga lainnya. System perkawinan tersebut tidak menggambarkan
keadilan dan kesetaraan. Perempuan tidak mendapat hak-haknya secara adil dan
manusiawi, sementara laki-laki atau suami menanamkan benih ketundukan,
kepasrahan, ketaatan, dan kerelaan para isteri untuk menjalankan tugasnya
melayani suami dan merawat anak.
Kondisi tersebut
berjalan selama bertahun-tahun tanpa ada hokum (wahyu) yang mengaturnya. Sampai
turun surat an-nisa ayat 3 yang selain membatasi jumlah perempuan yang dinikahi, juga
menyarankan untuk bias berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Bila kemungkinan
berbuat adil tidak diwujudkan maka alquran menyarankan untuk memperisteri
seorang saja.
c). perkawinan dengan
system diwariskan
dalam system arab pra
islam perempun tidak hanya diperbudak, dan diperjualbelikan, tetapi juga
diwariskan. Apabila ada seorang laki-laki meninggal dunia, putranya yang lebih
tua atau anggota keluarganya yang lain mempunyai hak untuk mengawini janda-jandanya
tanpa memberikan mas kawin. Itupun bila mereka suka, bila tidak boleh
mengawinkannya dengan orang lain atau melarangnya kawin sama sekali. Tindaka
tersebut benar-benar memposisikan perempuan sebagai benda mati yang tidak
memiliki hak untuk memilih. Selain merendahkan derajat perempuan, juga akan
merusak system kekerabatan akibat percampuran hubungan darah yang begitu dekat.
Penjelasan an-nisa,
4:23-24 menjelaskan pelarangn terhadap
sejumlah wanita yang dianggap sebagai mukhrim, atau masih memiliki ikatan
pertalian darah, juga kewajiban oleh laki-laki terhadap perempuan yang
dinikahinya. Hal tersebut mengarah pada terwujudnya norma-norma yang pasti
serta member status yang jelas pada perempuan.
d). perkawinan dalam
system kontrak
perkawinan ini biasa
disebut dengan perkawinan mut’ah. Merupakan perkawinan sementara yang waktunya
sudah ditentukan, dan dengan sendirinya akan dianggap bubar bila waktu yang
disepakati telah habis. Konteks perkawinan yang seperti ini pada dasarnya jauh dari tujuan perkawinan
yang hakiki yaitu terwujudnya misaqan galidan atau ikatan yang kuat untuk
mewujudkan keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah.
Hal ini kemudian memunculkan suatu hukum yang
tidak tertulis bahwa nasib dan keberlangsungan hidup wanita sangat ditentukan
laki-laki. Menurut qasim amin, bahwa perempuan selalu berada di bawah lindungan
laki-laki, yaitu ayahnya sebelum dia menikah, suaminya stelah dia menikah,
puteranya saat suaminya meninggal, saudara atau kerabat laki-lakinya bila dia
tidak memiliki putera.
e)
Posisi perempuan dalam Perceraian
Dalam
kasus perceraian, perempuan juga tidak mendapat tempat yang setara sebagaimana
laki-laki. Pada masa Jahiliyah, perempuan yang dicerai tidak mendapatkan apapun
sebagai nafkahnya. Anak akan menjadi milik ayahnya hanya didasarkan pada klaim
bahwa anak tersebut adalah miliknya.
Ibnu Zaid, salah seorang sahabat
nabi mengatakan, bahwa pada masa
itu, laki-laki mempunyai hak mutlak
dalam hal perceraian, seorang laki-laki
bisa menceraikan istrinya
seratus kali dan kemudian rujuk lagi (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jurair at-Tabari,
1992:547).
Bentuk-bentuk
perceraian lain yang sangat menyudutkan posisi perempuan diantaranya :
1) Zihar,
merupakan bentuk perceraian dimana suami yang mengatakan kepada istrinya bahwa
dia seperti punggung, rahim, paha atau organ seksual ibunya. Ini sama saja
dengan mempermalukan istri seperti ibunya (At-Tabari, t.t.:538-600). Hal
tersebut sudah menjadi adat kebiasaan bangsa Arab Jahiliyah bahwa bila suami
berkata demikian, maka istrinya itu haram baginya selama-lamanya. Namun setelah
datangnya Islam, maka yang haram untuk selama-lamanya dihapuskan, dan istri
kembali halal baginya setelah suami tersebut membayar kafarat (denda) (lihat di
Qs, al-Mujaddalah, 58:2-3 dan al-Ahzab, 33:4).
2)
Illa’, adalah bentuk
perceraian dimana seorang suami mengucapkan sumpah akan meninggalkan istrinya
dalam jangka waktu tertentu. Dalam rentang waktu tersebut, suami tidak
mendekati istri, sebagai hukuman terhadap si istri. Dengan sumpah ini seorang
istri menderita, karena tidak disetubuhi, juga tidak diceraikan (Qs,
al-Baqarah, 2:226). Baru kemudian dijelaskan dalam ayat al-Quran bahwa suami
diberi waktu selama 4 bulan untuk kemudian memilih kembali kepada istri dengan
membayar denda, atau menceraikannya (Qs, al-Baqarah (2) : 226-227)..
3) Al-adl,
secara harfiah mepunyai arti ”memaksa perempuan untuk tidak kawin”. Seorang
laki-laki yang telah mengawini seorang perempuan merdeka, dan tidak tahan
dengannya, dapat menceraikannya dengan syarat istrinya tersebut tidak akan
kawin lagi dengan orang lain tanpa izinnya (Asghar Ali Engineer, 1999:42).
Masih menurut Engineer, bahwa suami tersebut bisa memilih, mengizinkannya
menikah atau sebaliknya melarang mantan istrinya tersebut untuk kawin lagi.
Secara tegas, Al-Qur’an melarang praktik tersebut. Disebutkan dalam surat
al-Baqarah, 2:232. Yang artinya
: ”Dan
ketika kamu menceraikan perempuan dan telah berakhir massa iddahnya, maka janganlah kamu halangi mereka untuk kawin lagi dengan
calon suaminya, apabila diantara
mereka sendiri saling menyetujui dengan cara yang sah…”
Berikutnya
tentang masa Iddah, yaitu masa tunggu
perempuan setelah cerai atau ditinggal mati suaminya. Ada perbedaan pendapat
tentang ada atau tidaknya masa Iddah pada zaman Jahiliyah. Sebagian peneliti
mengatakan masa Iddah itu tidak ada. Mereka berpendapat bahwa pada masa itu
seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, sedang ia dalam kondisi hamil,
boleh kawin lagi, tinggal bersama dan melahirkan di rumah suaminya yang baru.
Anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak suami yang baru, meskipun sebenarnya
adalah hasil hubungan dengan suami terdahulu. Jadi Islamlah yang mulai
menetapkan masa Iddah (Asghar Ali Engineer, 1999:42). Selanjutnya, sementara
yang berpendapat bahwa masa Iddah sudah ada sejak dahulu, menyebutkan contoh
bahwa pada masa Jahiliyah, Iddah seorang wanita yang ditinggal mati suami
adalah satu tahun. Seorang janda biasanya dikurung di sebuah kamar kecil,
dilarang menyentuh sesuatu, tidak boleh menggunakan celak mata atau menyisir
rambut sampai satu tahun tersebut berlalu. Secara alamiah, kondisi mereka
sangat buruk. Namun Islam datang,
menghapus dan mengurangi masa Iddah menjadi 4 bulan sepuluh hari, atau sampai
melahirkan bila perempuan yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil (Qs,
al-Baqarah, 2:228&234 dan at-Thalaq,
65: 1 &4).
2.Kesetaran Gender
Dalam Islam
Dalam Al-Qur’an ada beberapa isu kontroversi
yang berkaitan dengan konsep relasi gender ,antara lain:asal usul penciptaan
perempuan ,konsep kewarisan, persaksian,poligamihak=hak reproduksi,talak
perempuan serta peran-peran perem[uan dalam publik.
Dalam (QS an-Nisa 4:34)merupakan salah
satu ayat yang paling sering dijadikan legitimasi adanya perbedaan status
maupun peran antara laki-laki dan perempuan,bahkan sebagai terjadinya
legitimasi terjadinya tindakan kekerasan terhadap istri.Dengan diturukannya
Al-Qur’AN Sebagai pemberi rasa keadilan ,rasa aman,dan prinsip=prinsip
kesetaraan yang sering tertuang dalam ayat-ayatNya ,rasanya sulit dipahami
bahwa Al-Qur’an member pernyataan sebalikbya”Kaum laki-laki adalah
Qawwamun”(pemimpin)bagi kaum perempuan ,oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian laki-laki atas sebagian yang lain (perempuan),dan karena mereka
laki-laki telah menahkahkan sebagian dari hartanya.
Pra ahli tafsir menyatakan bahwa
Qawwan berarti pemimpin ,penanggung jawab ,pendidik,dan sebaganya.Kategori
inisebenarnya tidak bermasalah panjang ditempatkan secara adil tidak didasari
oleh pandangan yang diskriminatif.Nmun
secara umum,para ahli tafsir berpendapat bahwa superiotas laki-laki tersebut
adalah mutlak dicipatakan Tuhan dan tidak bias dirubah.Begitup juga kelebihan
laki-lakiatas perempuan adalah mutlak sebagaimana di nukil dari kitab tafsir
Ar-kazi,Husein Muhammad menyatakan bahwa laki-laki mempunyai kelebihan
akal,pikira,dan kemampun fisik.
Artinya:akal dan
kecerdasan laki-laki melebihi perermpuan dalam pekerjaan fisik laki-laki bias
mengerjakan lebih sempurna.
Dalam ayatnya,Al-Qur’an
dengan sangat jelas menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan,kecuali keTaQwaannya:
“Hai manusia,kami telah
menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan,dan kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling ,mengenal.Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling Taqwa.” Konsep kesetaran gender pada dasarnya
juga sudah banyak disebutkan beberapa ayatNya,namun karena kuatnya budaaya patriarkhis,maka yang muncul di permukaan
adalah urgensi suparioritas laki-laki atas perempuan.
0 Komentar:
Posting Komentar
cukup dengan saran saya akan sangat terkesan, :)